Senin, 21 Maret 2011

Ulama dan Politik dalam Masyarakat Muslim

Ulama dan Politik dalam Masyarakat Muslim

“[U]lama yang terburuk adalah yang menerima hadiah dari penguasa, dan yang kesejahteraan dan keselamatannya bergantung pada dan berasal dari rasa takut kepada penguasa…” (Jalal al-Din Rumi, [1996: 13]).

Para ulama—dalam pelbagai variasi spasial dan temporalnya—merupakan elite sosial Islam yang cukup rumit dibicarakan dalam bingkai studi-studi sosiologis. Siapakah mereka, peran dan kedudukan apa yang mereka sandang dalam masyarakat Islam, merupakan pertanyaan-pertanyaan sederhana tapi sulit dijawab. Cukup ironis karena kita tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi justru karena para ulama sering lalu-lalang dalam perbincangan orang dan paling sering dirasani orang akhir-akhir ini. Ambiguitas yang timbul dalam membicarakan relasi antara ulama dan politik timbul karena hal ini. Bolehkah para ulama boleh berpolitik? Kalau tidak, haruskah mereka tinggal di dalam menara gading apolitisme? Lalu bila mereka boleh aktif berpolitik, bagaimanakah format politik yang pantas bagi mereka?

Tulisan sederhana ini bermaksud mendiskusikan kerumitan relasi antara ulama dan politik dengan melihat pengalaman sejarah sosial ulama di Abad Pertengahan. Masa ini penting karena warisan politik yang ditinggalkan oleh masa ini akan terus dibawa dan dipandang normatif oleh generasi-generasi selanjutnya. Problem dan ambiguitas relasi antara ulama dan politik timbul karena pengalaman sejarah ini.

Munculnya Ulama sebagai Elite Agama


Cukup sulit merumuskan siapa para ulama itu, lebih-lebih asal-usul kemunculan mereka dalam sejarah masyarakat Muslim. Secara etimologis, ‘ulama (tunggal: ‘alim) adalah kata benda partisipatif yang berarti “mereka yang berpengetahuan.” Sebagai istilah generik untuk menunjuk kaum terpelajar dan terdidik dalam masyarakat Muslim di Abad Pertengahan, nama ulama lebih sering menyisakan problem ketimbang menyelesaikannya. Namun demikian, cukup beralasan bila kita menggunakan kata ulama untuk mengacu pada para ahli agama dan ajaran agama dalam segala tipenya: faqih, qadhi, ahli hadis, imam, muballigh, mufti, sufi dan siapapun yang kompeten dalam masalah-masalah agama (Gilbert, 1980: 105).

Munculnya para ulama sebagai elite sosial dalam masyarakat Muslim tidak dapat dipisahkan dari proses penyebaran Islam sendiri. Sepeninggal Nabi Muhammad pada tahun 632, transformasi sosial menyebabkan migrasi besar-besaran orang-orang Arab Muslim ke Persia, Bulan Sabit Subur hingga ke Afrika Utara. Lewat proses ini, para Sahabat dan Tabi‘in, dua generasi pertama kaum Muslim berkelana ke berbagai tempat untuk belajar dan menyebarkan ajaran agama. Konversi kelompok-kelompok etnis dan masyarakat pribumi di daerah-daerah di atas menyebabkan terbentuknya lalu lintas pengetahuan agama yang berwatak kosmopolit. Orang-orang yang berasal dari wilayah-wilayah geografis terpencil mengelana untuk mencari ilmu atau sebaliknya para ulama dari pusat peradaban Islam berdakwah hingga ke wilayah periferi.

‘Kaum terpelajar’ ini semakin mengukuhkan posisi dan peran sosial mereka sebagai “pewaris Nabi” dengan menjadi imam, qadhi atau guru. Dengan kata lain, mereka menjadi agen utama penyebaran Islam dan transmisi teks-teks dan ajaran suci Islam. Namun keliru rasanya bila para ulama dipandang sebagai sebuah kelompok korporatif atau keulamaan dipandang sebagai sebuah profesi. Sebab, pertama, pendidikan mereka sangat individual dan personal. Para ulama dan murid-murid mereka berkelana untuk mencari dan menyebarkan ilmu tanpa organisasi, sistem dan lembaga pendidikan yang hierarkis dan sentralistik. Akibatnya, tidak mungkin kaum ulama ini tumbuh menjadi organisasi yang hierarkis dan sentralistik dan bermetamorfosis menjadi kelas yang lumayan kohesif dan monolitik. Kedua tentu saja adalah bahwa para ulama ini tidak menjadikan posisi mereka sebagai ulama profesi satu-satunya atau bahkan yang utama di antara profesi yang bisa mereka miliki. Glick (1979: 151-152) misalnya, saat meneliti struktur pendapatan para ulama (dan sufi) di Spanyol Muslim mendapati bahwa hampir kesemuanya memiliki profesi ekstra di bidang non-religius.

Absolutisme Negara dan Oposisi Religius


Bila kemunculan ulama sebagai elite mayarakat Muslim baru terjadi pada generasi ketiga kaum Muslim, ini berarti bahwa kemunculan mereka berbarengan dengan proses yang oleh Ira Lapidus (1975) disebut “pemisahan antara agama dan negara” (the separation of state and religion) dalam masyarakat Muslim. Konsolidasi Dinasti Umayyah dan penggantinya, Dinasti ‘Abbasiyah sebagai kekhalifahan yang berlandaskan pada legitimasi dinasti, militer dan sekular mengakibatkan karakter kekhalifahan yang dahulunya religius, demokratis dan egalitarian menjadi sekular, sentralistik, absolutis dan militeristik. Terutama dinasti yang disebut terakhir secara kentara mewarisi tradisi absolutis sistem kenegaraan Persia yang memandang ideal sentralisasi kekuasaan dan penyatuan kekuasaan sekular dan religius di tangan penguasa.

Bagi mereka yang memandang praktik kenabian dan khulafa’ al-rasyidun sebagai warisan politik yang bersifat normatif, praktik politik Dinasti Umayyah dan ‘Abbasiyah merupakan penghujatan secara terang-terangan terhadap ajaran Islam. Kelompok-kelompok politiko-religius awal seperti kaum Khawarij dan Syi‘ah merupakan reaksi terhadap ‘penyimpangan’ kekhalifahan dari karakter sejatinya. Kedua kelompok ini menentang kedua dinasti ini dengan melakukan sejumlah pemberontakan. Perlawanan kedua kelompok ini tentu saja menemui kegagalan dan mereka terus menjadi minoritas dalam masyarakat Muslim. Namun demikian, bahkan mereka yang memilih bersikap diam pun memandang praktik politik Dinasti Umayyah dan ‘Abbasiyah sebagai penyimpangan yang mesti diterima hanya karena alasan realpolitik. Mereka memilih untuk tidak memiliki ikatan struktural dalam bentuk apapun dengan negara dan sebaliknya membangun sistem otoritas dan kepatuhan tandingan. Mazhab-mazhab fikih, aliran-aliran akidah dan tarekat sufi merupakan institusi-institusi religius yang berwatak individual dan sama sekali tidak digantungkan pada negara.

Dari sini, terjadi ketegangan dan konflik antara ulama dan negara. Terjadi perebutan legitimasi agama (contest for religious legitimation) antara ulama dan khalifah. Di satu sisi, para khalifah atau imam berupaya mendapatkan legitimasi politik dan religius lewat perannya sebagai pelindung masyarakat Muslim dan pewaris kekuasaan politik Nabi. Mereka mengklaim kekuasaan absolutis yang membuat para khalifah tidak semata memiliki kekuasan eksekutif tapi juga legislatif dalam pelaksanaan Syari‘ah. Sementara di sisi lainnya, para ulama berupaya sekuat tenaga untuk menafikan legitimasi religius para khalifah tersebut. Perebutan legitimasi ini memuncak dalam konflik antara Ahmad ibn Hanbal dan al-Ma’mun, khalifah absolutis terakhir Dinasti ‘Abbasiyah. Al-Ma’mun, khalifah yang terkenal sebagai patron penerjemahan dan pengkajian filsafat dan ilmu Yunani klasik itu, melakukan kebijakan mihnah, sebuah upaya untuk menegakkan supremasi negara dalam menentukan ortodoksi agama dan peran khalifah sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Namun demikian, kebijakannya mendapat pembangkangan kuat dari Ibn Hanbal. Konflik ini mengakibatkan Ibn Hanbal muncul sebagai pahlawan dan legitimasi khalifah hancur.

Ironisnya, proses alienasi khalifah dari masyarakat Muslim ini semakin dipertajam oleh kecenderungan para khalifah ‘Abbasiyah belakangan untuk menggantungkan diri pada elite militer beretnis Turki yang memang memiliki esprit des corps sangat tinggi. Mereka dipilih sebagai prajurit dan pengawal pribadi khalifah karena mereka tidak memiliki keterikatan dan kesetiaan suku (‘ashabiyah) yang dimiliki pasukan militer Arab. Namun akibatnya, hubungan organik yang mestinya hadir dalam hubungan antara khalifah dan rakyatnya menjadi pudar. Puncaknya adalah saat khalifah al-Musta‘sim membangun Samarra sebagai tempat tinggal khalifah dan para pengawal pribadinya yang terpisah beberapa ratus kilometer dari Baghdad, ibukota negara yang dipadati masyarakat urban dengan segala aktifitas ekonomi dan sosialnya. Tidak mengherankan bila khalifah al-Mutawakkil dapat dengan mudah dibunuh oleh pengawal militernya sendiri tanpa bisa melawan dan tak mendapat sokongan dari masyarakat Muslim.

Militerisasi Negara dan Profesionalisasi Ulama


Takluknya Baghdad pada konfederasi Buwaihi pada tahun 945 menandai dimulainya periode baru dalam sejarah hubungan antara agama dan negara dalam Islam. Dua ciri utamanya adalah militerisasi negara dan munculnya masyarakat kosmopolit yang berorientasi non-negara (non-state oriented ). Khalifah terbukti impoten dan praktis hanya menjadi pemimpin boneka sementara kekuasaan efektif berada di tangan para pemimpin konfederasi ini yang menyebut diri mereka sultan. Pada akhirnya terdapat siklus tetap di mana suku-suku nomad yang berasal dari wilayah pinggiran: Turki, Berber, Mongol atau Kurdi menguasai negara untuk mewujudkan stabilitas politik namun mereka sendiri tidak memiliki cukup legitimasi untuk memerintah masyarakat yang secara etnis, linguistik atau posisi religius berbeda dengan mereka. Negara-negara baru ini pun secara tak terhindarkan telah memetak dar al-Islam yang dulunya berada dalam kekuasan negara imperial yang tunggal. Dalam beberapa kasus, seperti muluk al-thawa’if (reyes de taifas) di Spanyol pasca keruntuhan Dinasti Umayyah di sana atau tiga dinasti pengganti Negara al-Muwahhidun di Afrika Utara: Banu Marin, Banu ‘Abd al-Wad dan Banu Hafsh, legitimasi dan kekuatan politik negara-negara memang sangat singkat dan sempit.

Para ulama bereaksi terhadap perkembangan ini dengan menciptakan jaringan pendidikan dan komunikasi yang bersifat kosmopolit dan berorientasi non-negara. Pada abad XI dan XX Masehi mulai bermunculan institusi-institusi pendidikan yang disebut madrasah, zawiyah dan khanqah. Yang disebut pertama adalah tempat pengajaran materi fikih (dan teologi) sementara dua yang disebut terakhir adalah tempat para sufi dan murid-murid mereka memupuk pengalaman spiritualit mereka. Di dalam lembaga-lembaga ini, para ulama tinggal dan menyebarkan ajaran-ajaran agama dalam atmosfer yang kosmopolit dan lumayan homogen. Standardisasi “sistem keulamaan internasional ini” (Gilbert, 1980: 107-109) dipertahankan lewat beberapa mekanisme. Yang pertama adalah dengan menjadikan agama, bukan negara, sebagai basis sistem keulamaan. Para ulama dan murid-murid mereka mengelana agar mereka menjadi bagian dari serangkaian mata rantai transmisi ajaran dan tradisi agama yang membentang sejak Nabi Muhammad. Yang kedua, jaringan keulamaan ini ditopang oleh model komunikasi yang bersifat personal, bukan institusional.

Dengan cara seperti ini, para ulama telah membantu menciptakan perasaan identitas dan ketentraman politik Muslim yang sedang dibutuhkan oleh masyarakat. Di saat masyarakat Muslim mengalami disintegrasi secara politik, etnis, atau bahasa, dan kesatuan Dunia Islam sedang terancam, para ulama dan sufi aktif berkiprah dalam sistem keulamaan yang berwatak kosmopolit dan homogen. Bukan saja keutuhan Dunia Islam dapat dipertahankan secara kultural, namun juga ekspansi dan konversi Islam di wilayah-wilayah pinggiran seperti Cina, Indonesia dan Afrika berlangsung ekstensif melalui sistem kesarjanaan dan komunikasi internasional ini.

Para sultan dan amir dengan begitu akan sangat berkepentingan untuk ikut membantu penyebaran lembaga-lembaga pendidikan ini di seluruh wilayah mereka. Sebab hanya dengan cara demikianlah mereka dapat membuktikan dedikasi mereka terhadap Islam kepada masyarakat Muslim dan memperoleh legitimasi politik karenanya. Di antara ketiga institusi ini yang paling menarik bagi para sultan dan amir adalah madrasah. Mereka mencoba membina relasi simbiotik dengan para ulama dengan membangun madrasah-madrasah di kota-kota besar Islam yang akan menjadi pusat penyebaran dan pembelajaran doktrin-doktrin Islam. Nizham al-Mulk, perdana menteri terkenal dari Dinasti Saljuq misalnya, mendirikan madrasah Nizhamiyyah antara lain di Baghdad dan Nishapur yang terkenal sebagai pusat studi fiqh Syafi‘i di Persia.


Dari praktik inilah muncul kemudian dikotomi peran ulama dan dan umara yang dipahami secara komplementer. Dengan cara yang sedikit mengingatkan kita pada negara ideal rekaan Plato dalam Republic, relasi antara “pemilik pedang” (rabb al-saif ) dan “pemilik pena” (rabb al-qalam) ini dijelaskan oleh al-Juwaini sebagai perpaduan antara otoritas militer yang diperlukan untuk menciptakan stabilitas dan otoritas agama untuk melaksanakan Syari‘ah (Hallaq, 1984). Pola ini terus berlanjut hingga di masa modern awal, seperti tercermin dalam sistem otoritas politik Kesultanan Osmani yang dipilah menjadi dua: Sultan sebagai pemimpin duniawi dan Syaikh al-Islam sebagai pemimpin agama.

Baru pada masa inilah kita bisa melihat adanya profesionalisasi ulama sebagai elite sosial dan institusionalisasi profesi keulamaan (Gibert, 1980). Ini berarti bahwa para ulama memiliki tempat khusus yang permanen untuk mengajar, tinggal dan memperoleh pendapatan dari profesinya. Di satu sisi, profesionalisasi ulama ini membuat mereka menjadi bagian dari negara dan merupakan elite politik yang patut diperhitungkan. Namun demikian, di sisi yang lain, posisi mereka sebenarnya masih independen karena pendapatan yang diperoleh para ulama adalah lewat zakat dan wakaf yang memang diserahkan kepada mereka. Ini membuat para ulama masih dapat menjaga independensi dan kemandirian mereka. Independensi para ulama ini semakin diperkokoh lewat karakter agama yang independen dari negara dan keberadaan ulama atau sufi yang berada di luar otoritas resmi negara.

Simpulan


Bila ada beberapa catatan yang mesti diberikan dari deskripsi di atas, maka yang pertama mesti disadari adalah bahwa para ulama memang bukan insan apolitis. Sejak awal mereka merupakan elite masyarakat yang aktif berpolitik dan bersentuhan secara intensif dengan negara. Relasi mereka dengan negara pun sangat variatif bergantung pada faktor-faktor politis dan sosial yang turut mempengaruhi perjalanan sejarah mereka. Kalaupun kita akan mencoba melihat pola-pola tertentu dalam relasi ulama dengan politik maka yang segera tampak menonjol adalah bahwa para ulama menghayati diri mereka sebagai pelindung dan penjaga umat. Ragam sikap mereka terhadap negara, mulai dari yang kooperatif hingga yang bermusuhan, dilandasi oleh keprihatinan mereka terhadap kebaikan masyarakat (maslahat al-nas). Para ulama akan bersikap kooperatif (bahkan tampak apolitis) saat negara dapat menjamin kemaslahatan masyarakat; sebaliknya, mereka akan bermusuhan dengan negara bila situasi sebaliknya terjadi.

Ciri lain dari interaksi ulama dan negara di Abad Pertengahan adalah bahwa sikap mereka terhadap negara dilandasi oleh independensi mereka dari segala bentuk ketergantungan terhadap negara: mulai dari agama hingga ekonomi. Dalam bidang agama misalnya, mereka selalu mengusahakan agar agama tidak dikooptasi oleh negara demi kepentingan politik sesaat; di bidang ekonomi, profesi ulama tidak memiliki keterkaitan struktural dengan negara yang mengakibatkan mereka hanya akan menjadi “pendeta istana.” Sebaliknya, pendapatan mereka diperoleh secara langsung dari masyarakat Muslim yang mempercayakan pengurusan zakat dan wakaf kepada mereka.

Pertanyaan kritis yang mesti kita ajukan kepada para ulama dan kiai yang saat ini aktif berpolitik dengan demikian adalah: Apakah motivasi mereka berpolitik adalah demi kebaikan masyarakat atau sebaliknya? Apakah mereka dapat menjamin independensi mereka dari kepentingan politik sesaat? Dapatkah mereka memposisikan diri mereka sebagai representasi masyarakat dan bukan malah menjadi pion kepentingan negara, partai atau individu yang hanya berniat menjadikan para ulama dan agama sebagai mesin politik? Tentu saja jawabannya berpulang pada pribadi masing-masing ulama ini!

Kepustakaan

Gilbert, Joan E. 1980. “Institutionalization of Muslim Scholarship and Professionalization of the Ulamâ in Medieval Damascus,” Studia Islamica, LII, hlm. 105-134.
Glick, Thomas F. 1979. Islamic and Christian Spain in the Early Middle Ages: Comparative Perspective on Social and Cultural Formation. Princeton, N.J.: Princeton University Press. Vide http://libro.uca.edu/ics/emspain.htm
Hallaq, Wael B. 1984. “Caliphs, Jurists and the Saljuqs in the Political Thought of Juwayni,” The Muslim World, LXXIV, hlm. 26-41.
Lapidus, Ira M. 1975. “The Separation of State and Religion in the Development of Early Islamic Society,” International Journal of Middle East Studies, VI, hlm. 363-385.
Rumi, Jalal al-Din. 1996. Discourses of Rumi, diterjemahkan oleh Arthur J. Arberry. Selangor: Thinker’s Library.