Jumat, 25 Februari 2011

Seksualitas dan Spiritualitas


Seksualitas dan Spiritualitas dalam Pemikiran al-Ghazali

Tradisi Islam memberikan evaluasi positif terhadap seksualitas. Keterbukaan dalam membicarakan tema yang sekarang malah ditabukan ini dapat dilihat dalam literatur Islam klasik. Para ulama dan sufi tidak merasakan adanya pertentangan yang inheren antara seksualitas dan spiritualitas. Orang dapat menyaksikan hal ini dalam karya Ibn al-‘Arabi, Tarjuman al-Asywaq, yang mendeskripsikan cinta ilahi dalam ungkapan-ungkapan “romantis dan sensual”; ‘Abd al-Rahman Jami, sufi Persia yang menulis novel Yusuf dan Zulaikha; hingga deskripsi-deskripsi “erotis” tentang “orgasme tanpa batas” di Surga nanti dalam himpunan hadis-hadis sahih. Tulisan ini bermaksud mengeksplorasi salah satu aspek dari evaluasi positif tradisi Islam terhadap seksualitas ini dengan mendeskripsikan pandangan Abu Hamid al-Ghazali (1058-1111), ahli hukum, teolog dan sufi dari Persia, tentang relasi antara seksualitas dan perkawinan dengan spiritualitas. Teks yang akan dikaji adalah bagian yang relevan dalam magnum opus-nya, Ihya’ ‘Ulum al-Din (1957), yaitu Rub‘ II Kitab II, “Kitab Adab al-Nikah,” dan ringkasan karya ini dalam bahasa Persia, Kimiya-yi Sa‘adat (yang hanya bisa saya akses lewat terjemahan Claud Field yang sudah lumayan ketinggalan, The Alchemy of Happiness [1980]). Pertanyaan yang dibahas oleh al-Ghazali kurang lebih demikian: Haruskah perkawinan (dan seksualitas tentunya) dipandang sebagai pendukung atau penghalang spiritualitas? Manakah yang lebih baik, menikah atau menyendiri untuk beribadah?

I

Al-Ghazali membuka “Kitab Adab al-Nikah” dengan paragraf berikut:

Puji bagi Allah yang keajaiban-keajaiban ciptaan-Nya tidak tunduk pada panah prasangka, sebab hati tidak mungkin merenungkan keindahannya tanpa ketakjuban dan kekaguman; dan yang kelembutan karunia-Nya tanpa henti diberikan kepada seluruh alam. Semuanya datang secara beriringan kepada mereka entah mereka mau menerimanya atau tidak. Salah satu karunia-Nya yang paling indah adalah Dia menciptakan manusia dari air [Qur’an xxi:30], menjadikan mereka berhubungan lewat perkawinan dan kekerabatan, dan membuat manusia diliputi hasrat yang dengannya Dia membuat mereka beranak-pinak dan dengan begitu mendorong mereka mempertahankan keturunan. Kemudian Dia mengagungkan dan memberikan kedudukan yang penting terhadap perkara nasab. Karenanya Dia melarang hubungan yang tak sah dan mencelanya sedemikian rupa lewat larangan dan pembatasan, menjadikannya sebagai kejahatan dan masalah yang serius, dan menganjurkan perkawinan lewat perintah dan hasrat.

Lewat paragraf pembuka ini, dengan secara terbuka memperlihatkan keterpesonaannya terhadap seksualitas dan perkawinan, dengan mengatakan bahwa seksualitas merupakan salah satu karunia Tuhan yang paling indah dan bahwa hasrat seksual manusia merupakan “perintah Tuhan,” al-Ghazali sedang memperlihatkan pendekatan dan pendapatnya yang akan ia kemukakan di bawah. Al-Ghazali pastilah sedang mengingat surah xxx: 21 yang menyatakan, “Dan di antara tanda-tanda-Nya (ayatih) adalah bahwa Dia menciptakan pasangan kalian dari diri kalian sendiri dan menghadirkan cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah) di antara kalian.” Dengan kata lain, fenomena seksualitas dan perkawinan merupakan salah satu tanda atau bukti adanya Tuhan dan dengan demikian merupakan salah satu lokus “penampakan wajah Tuhan” dalam kosmos. Al-Ghazali pastilah dengan serta merta akan sepakat dengan penjelasan para sufi yang lain bahwa eksistensi kosmos merupakan hasil “perkawinan” antara langit dan bumi atau juga perpaduan harmonis sifat-sifat agung (jalal) dan indah (jamal) Tuhan. Surah xxxvi: 36 mengatakan, “Mahasuci Dia yang menciptakan pasangan-pasangan dari yang ditumbuhkan oleh bumi, dari diri mereka sendiri dan dari apapun yang tak mereka ketahui.”

Bila secara teologis perkawinan merupakan bagian dari ciri normal segala eksistensi, mengapa kemudian seksualitas harus dipandang negatif? Dari sinilah kemudian fiqh memandang perkawinan sebagai salah satu bagian kehidupan agama yang terpenting. Para fuqaha hanya berselisih saat berhadapan dengan pertanyaan di muka: Mana yang lebih penting, menikah atau menyendiri untuk beribadah? “Para ulama,” demikian kata al-Ghazali, “berbeda pendapat tentang keutamaan nikah. Beberapa di antara mereka menekankan keutamaan nikah hingga mereka lebih mengutamakannya ketimbang menyendiri untuk beribadah kepada Allah (al-takhalli li-‘ibadat Allah); sementara yang lain, walaupun juga menganggap penting nikah masih mengutamakan menyendiri untuk beribadah” (1957: II, 22).

Al-Ghazali memutuskan ikut ambil bagian dalam perselisihan ini. Seperti halnya setiap faqih yang sedang berhadapan dengan problem atau pertanyaan hukum, ia pertama kali mencoba menghimpun teks-teks Qur’an dan hadis-hadis dari Nabi dan para leluhur agung (al-salaf al-salih), dan kemudian menganalisis “manfaat” dan “mudarat” perkawinan untuk kemudian memberikan opininya sendiri.

II

Adakah teks-teks Qur’an dan hadis memberikan apresiasi yang positif terhadap seksualitas dan perkawinan? Sehubungan dengan ayat-ayat Qur’an, al-Ghazali memilah antara ayat-ayat performatif (insya’i) dan deklaratif (khabari). Ia memperlihatkan bahwa setiap ayat performatif Qur’an pasti memerintahkan perkawinan dan sebaliknya melarang apapun yang menghalangi perkawinan. Misalnya surah xxiv: 32 mengatakan, “Kawinilah perempuan-perempuan yang baik di antara kalian.” Sebaliknya surah ii: 232 mengatakan, “Dan jangan halangi mereka menikah dengan pasangan-pasangan mereka.” Adapun ayat-ayat deklaratif Qur’an malah kerap melukiskan pernikahan sebagai salah satu ciri figur-figur utama Qur’an. Surah xiii: 38 bercerita, “Kami telah menurunkan para rasul sebelum Engkau dan mereka pun memiliki pasangan dan anak-anak.” Orang-orang yang dekat kepada Tuhan (auliya’) pun dipuji karena berdoa demikian, “Wahai Tuhanku, berikan kepada kami pasangan dan keturunan yang akan menjadi pelipur hati.”

Hanya dalam hadis al-Ghazali menjumpai adanya sikap mengecilkan atau melarang perkawinan. Misalnya al-Ghazali mengutip hadis yang menyatakan, “Orang yang terbaik setelah dua ratus tahun adalah lelaki yang tidak memiliki istri maupun anak.” Nabi juga diceritakan mengatakan, “Akan datang masa di mana kebinasaan seseorang diakibatkan oleh istrinya, orang tuanya, dan anak-anaknya; mereka akan mengeluhkan kemiskinan mereka dan menuntutnya melakukan sesuatu yang di luar kemampuannya. Ia lalu akan memasuki jalan yang membuatnya kehilangan agamanya dan akan celaka.” (II, 24) Namun, hadis yang sebaliknya malah jauh lebih banyak lagi. Nabi antara lain berkata, “Nikah itu sunnahku. Maka siapapun yang mencintai fitrahku hendaknya mengikuti sunnahku.” Dalam kesempatan yang lain, Nabi berkata, “Menikahlah agar kalian beranak-pinak. Sebab aku akan membanggakan kalian nanti di Hari Kiamat.” (II, 22)

Bagaimana caranya menghadapi dua pernyataan yang bertentangan di atas, di satu sisi, ada hadis yang menganjurkan nikah; sementara di sisi yang lain terdapat hadis yang berpendapat sebaliknya? Al-Ghazali memutuskan untuk melakukan analisis semantik. Ia memperlihatkan bahwa setiap pernyataan yang memandang positif nikah dan menganjurkannya, kalau tidak bersifat mutlak pasti memiliki konteks terbatas. Sebaliknya, setiap pernyataan hadis yang memandang negatif nikah memiliki konteks yang terbatas. “Ringkasnya,” kata al-Ghazali sendiri, “Setiap pernyataan yang melarang nikah diiringi oleh syarat tertentu (maqrunan bi-syarth); sementara yang menganjurkan nikah pastilah bersifat mutlak atau diiringi oleh syarat tertentu.” (II, 25) Dengan kata lain, teks-teks Qur’an dan hadis terbukti mendorong setiap Muslim untuk menikah, kecuali mereka yang karena sesuatu dan lain hal tidak mampu melaksanakannya.

III

Manfaat dan bahaya apa yang akan diperoleh seseorang bila menikah dan menikmati hubungan seksual? Menurut al-Ghazali, ada lima manfaat yang akan diperoleh seseorang bila menikah; dan akan ada tiga bahaya yang akan ditimbulkan oleh nikah. Kutipan dari Kimiya-yi Sa‘adat berikut menjelaskan posisi al-Ghazali tentang manfaat perkawinan secara ringkas (Di sini, al-Ghazali membayangkan para pembacanya adalah kaum lelaki, bukan perempuan!):

Karena Allah, seperti yang dikatakan oleh Qur’an, menciptakan manusia dan jin hanya agar mereka menyembah-Nya, maka manfaat pertama dan utama nikah adalah agar para hamba Allah bertambah banyak jumlahnya … Manfaat lain nikah adalah bahwa, seperti yang dikatakan Nabi, doa anak-anak yang saleh akan menyelamatkan orang tua mereka di Hari Kiamat … Manfaat perkawinan yang lain adalah bahwa hati lelaki akan memperoleh ketenangan lewat keintimannya (uns) dengan wanita, karena duduk dan bergurau dengan mereka. Ketenangan ini menjadi penyebab bertambahnya hasrat untuk beribadah … Manfaat nikah selanjutnya adalah bahwa ada orang yang akan mengurus rumah tangga, memasak makanan, mencuci pakaian, dan mengepel lantai. Bila seorang lelaki sibuk dengan tugas-tugas tersebut ia tak akan sempat belajar, menjalankan bisnis atau beribadah secara khusyuk … Nikah lebih-lebih, punya manfaat lain: Mencoba sabar dengan karakter-karakter feminin, memenuhi kebutuhan-kebutuhan istri dan menjaga mereka agar tetap di jalan agama, merupakan kewajiban agama yang sangat penting. (1980: 101-104)

Kemudian al-Ghazali beralih pada bahaya perkawinan:

Salah satunya adalah bahwa ada bahaya, khususnya di masa sekarang ini, seorang lelaki akan mencari nafkah dengan cara-cara yang tak halal untuk menghidupi keluarganya, dan tak ada perbuatan sebaik apapun yang bisa menebus dosa ini … Bahaya nikah yang lain adalah bahwa memperhatikan keluarga dengan baik dan sabar dan memenuhi kebutuhan mereka secara memuaskan hanya bisa dilakukan oleh mereka yang punya karakter baik. Ada bahaya bahwa seorang lelaki akan memperlakukan keluarganya dengan kasar atau meninggalkan mereka begitu saja dan oleh karena itu mendatangkan dosa pada dirinya sendiri … Bahaya nikah yang ketiga adalah bahwa perhatian terhadap keluarga sering menghalangi lelaki dari berkonsentrasi merenungkan Allah dan akhirat sehingga, kecuali bila ia berhati-hati, membawanya menuju celaka. (1980: 105-107)

Dari analisis al-Ghazali di atas, dapat dilihat bahwa baginya, secara substansial pernikahan memiliki peran vital terhadap agama dan kepribadian individu dan masyarakat. Pernikahan dan seksualitas berbanding lurus dengan spiritualitas. Bahkan manfaat perkawinan yang semata bersifat rekreatif, yaitu keintiman (uns) dengan wanita akan berakibat positif terhadap spiritualitas. (“hati lelaki akan memperoleh ketenangan lewat keintimannya [uns] dengan wanita…”) Sebaliknya, bahaya-bahaya perkawinan ditimbulkan oleh ketidakmampuan seseorang untuk melaksanakan tugasnya dalam perkawinan, bukan karena perkawinan itu sendiri. Ketiga bahaya yang disebutkan oleh al-Ghazali tadi timbul karena ketidakmampuan ini.

IV

Sekarang kita kembali ke pertanyaan di muka: Taruhlah seseorang sudah terbebas dari bahaya-bahaya di atas, mana yang lebih baik, menikah atau menyendiri untuk beribadah? Jawaban al-Ghazali adalah: “Kedua-duanya!” (yajma‘u bainahuma) Sebab, demikian katanya, nikah tidaklah menegasikan ibadah sehubungan dengan keberadaannya sebagai akad dan hanya sehubungan dengan usaha mencari nafkah, nikah itu bisa mengganggu. Maka seseorang yang mampu mencari nafkah yang halal lebih utama menikah karena malam hari dan waktu-waktu luangnya di siang hari masih bisa ia manfaatkan untuk menyendiri beribadah. Dan memang tak seorang pun mungkin menghabiskan seluruh waktunya untuk beribadah. Dan bahkan bila ia harus menghabiskan seluruh waktunya untuk mencari nafkah dan ia hanya memiliki waktu untuk ibadah wajib dan keperluan-keperluan lain yang mendesak (dan tak lagi sempat beribadah sunnah), ia tetap lebih baik menikah karena mencari nafkah yang halal, memperhatikan keluarga, dan merawat anak-anak pun merupakan ibadah yang tak kurang keutamaannya ketimbang ibadah-ibadah sunnah. Baru bila pencarian nafkah menimbulkan bahaya pada seseorang dan ia hanya bisa beribadah dengan perenungan, pengetahuan dan refleksi batin, nikah bisa ditinggalkan. (II, 36)

Lalu bila nikah memang lebih utama, mengapa Nabi ‘Isa memilih tidak menikah; sementara bila menyendiri untuk beribadah lebih baik, mengapa Nabi Muhammad memilih beristri banyak? Sekali lagi, jawabannya adalah bahwa seksualitas tidak bisa dipertentangkan dengan spiritualitas. Maka siapapun yang mampu untuk menikah tanpa membuatnya lupa dari ibadah patut melaksanakan keduanya secara bersamaan. Demikianlah, Nabi Muhammad menikah dan beribadah secara bersamaan tanpa ia sendiri merasa terganggu. Karena kebesaran jiwanya, Nabi sama sekali tak pernah diganggu oleh urusan-urusan duniawi ketika hatinya harus berjumpa dengan Tuhan. Tidak mengherankan bila Nabi menerima wahyu justru saat ia sedang berbaring di kamar istrinya! Sebaliknya, apa yang dilaksanakan oleh Nabi ‘Isa juga cocok bagi dirinya yang memilih untuk berhati-hati. Dan barangkali pula baginya, kesibukan dengan masalah-masalah nikah akan mengganggunya dari beribadah kepada Allah dan ia memilih untuk menghindarinya. Walhasil, menurut al-Ghazali, semuanya berpulang pada kepribadian masing-masing individu. (II, 36-37)

* * * * *

Yang menarik dari pembahasan al-Ghazali di atas tentu saja adalah jawaban yang ia berikan bahwa tidak perlu ada pertentangan antara spiritualitas dan seksualitas. Alih-alih memandang seksualitas dan perkawinan sebagai fenomena fisik belaka yang bertentangan dengan spiritualitas dan akan menjadi penghalang manusia dari jalan agama, al-Ghazali malah mengatakan sebaliknya: Seksualitas dan spiritualitas merupakan dua aspek dari kehidupan manusia yang sama-sama penting dalam usaha manusia untuk mencapai Tujuan Tertingginya. Yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa pendekatan al-Ghazali ini tidaklah unik dan sebenarnya dapat dipandang sebagai representasi pendekatan tradisional Islam dalam berhadapan dengan problem seksualitas. Dengan mendobrak mitos agama-agama lama yang mempertentangkan spiritualitas dan seksualitas, tradisi Islam telah melakukan revolusi budaya yang penting dan menciptakan budaya dan masyarakat yang unik dan khas.

Wa Allahu a‘lam.

Kamis, 17 Februari 2011

Hilangnya Epistemologi

Hilangnya Epistemologi dari Wacana Fiqh Kontemporer

M. Ma’mun Jauhari


I.

Saya merasa ada sesuatu yang hilang dari tradisi intelektual klasik kala saya berhadapan dengan wacana Islam kontemporer, yaitu sikap rendah hati.

Saat berkenalan dengan disiplin-disiplin Islam klasik seperti tafsir, hadis, fiqh, usul fiqh, atau kalam, saya selalu berjumpa dengan penegasan yang tak pernah lelah diulang-ulang bahwa betapapun gagasan-gagasan yang dihasilkan oleh para pemikir klasik tersebut didasarkan pada teks-teks otoritatif Islam yang kebenarannya mutlak diterima oleh setiap Muslim, yaitu Qur’an dan hadis, selalu ada kesadaran bahwa gagasan mereka hanyalah hasil kerja membaca dan menafsirkan yang akan selalu bersifat subjektif, dengan tingkat kebenaran yang relatif dan oleh karena itu tidak boleh diidentikkan dengan teks-teks otoritatif itu sendiri.

Saya ingin membicarakan satu tradisi intelektual yang saya kenal dengan baik, yaitu fiqh, untuk membuktikan hal ini. Sikap rendah hati sudah tercermin bahkan dalam nama yang dipilih untuk menunjuk disiplin ilmu ini. Fiqh berasal dari akar kata f-q-h yang bermakna memahami atau menafsirkan. Secara tersirat tampaknya para pembangun disiplin ini hendak menegaskan bahwa apa yang mereka bicarakan dan diskusikan dalam kitab kuning yang mereka tulis hanyalah merupakan hasil pemahaman dan interpretasi mereka atas teks Qur’an dan hadis dan dengan demikian tidak mungkin memiliki kebenaran absolut seperti yang disandang oleh keduanya. Fiqh dengan begitu akan dipilah dari Syari‘ah, yang merupakan sumber fiqh dan identik dengan wahyu itu sendiri; keduanya tidak bisa dijumbuhkan begitu saja.

Sikap ini menurut saya bermula dari pendirian epistemologis fiqh yang merasa seti daknya ada tiga problem yang mesti dihadapi seseorang saat berhadapan dengan teks-teks otoritatif, yaitu: problem otentisitas, otoritas, dan interpretasi. Setiap tulisan mengenai usul fiqh selalu didahului oleh pengantar tentang epistemologi. Di dalam al-Luma‘ fi Usul al-Fiqh misalnya, Abu Ishaq al-Syirazi berwanti-wanti bahwa pengetahuan manusia (‘ilm al-khalq) berbeda dari pengetahuan Tuhan (‘ilm al-Khaliq) dalam kesempurnaan dan kebenarannya. Sementara pengetahuan yang disebut terakhir benar-benar tanpa cacat dan tidak bisa diklasifikasi berdasarkan tingkat kebenarannya; hal yang sebaliknya justru berlaku dalam pengetahuan manusia. Pengetahuan manusia adakalanya benar karena diperoleh lewat pencerapan langsung (daruri) oleh panca indera atau muncul secara a priori dalam diri manusia, tapi sering juga hanya mencapai tingkat probabilitas, karena cuma diperoleh (muktasab) lewat inferensi atau penalaran. Lebih jauh lagi, manusia malah lebih sering hanya mencapai praduga atau hipotesis (zann), bukan pengetahuan dalam upayanya menemukan kebenaran. Kebenaran (al-Haqq) merupakan objek yang elusif karena keagungan dan kesempurnaannya. Ia merupakan sifat Tuhan itu sendiri. Bahasa Arab biasanya menganalogikan pengetahuan dengan lautan dan ketidakmampuan manusia untuk meneguk air lautan dibandingkan dengan kelemahan manusia untuk menangkap kebenaran. Dari sini kemudian usul fiqh melakukan pemilahan antara pengetahuan yang mencapai derajat kepastian (qat‘i), dan pengetahuan yang hanya mencapai tingkat probabilitas (zann). Pemilahan inilah yang kemudian menjadi perspektif dalam menilai dan membandingkan teori-teori yang beragam dalam fiqh.

Syari‘ah, petunjuk Tuhan kepada manusia, yang diturunkan kepada Muhammad dalam bentuk teks Qur’an dan hadis, merupakan Kebenaran yang Tuhan perlihatkan kepada manusia. Tapi mampukah manusia meneguknya? Dari sinilah muncul ketiga problem epistemologis yang saya sebutkan di atas. Semuanya muncul karena petunjuk Tuhan tersebut datang kepada manusia dalam bentuk teks, yang dengan demikian hanya merupakan penanda (dilalah) belaka atas hukum sempurna milik Tuhan. Diperlukan perantara agar dalil ini bisa “berbicara” kepada manusia, sementara mereka yang ditunjuk sebagai perantara, para fukaha, merupakan individu-individu yang bebas tapi tak lebih sempurna ketimbang manusia-manusia lainnya.

Problem otentisitas bertolak dari kesadaran bahwa teks agama merupakan teks historis yang ditransmisikan dalam jangka waktu lama sehingga memiliki kemungkinan dipalsukan atau diselewengkan akibat faktor waktu. Akibatnya kemudian, harus dikembangkan metode yang efektif untuk menentukan otentisitas suatu nas. Fungsi inilah yang dijalankan oleh ilmu kritik sejarah, disiplin yang bertugas meneliti otentisitas nas lewat kritik transmisi dan konteks. Usul fiqh lalu mengklasifikasi nas berdasarkan tingkat otentisitasnya: Nas yang ditransmisikan oleh individu-individu yang berjumlah banyak merupakan nas yang memiliki tingkat kebenaran yang kuat (maqtu‘ fir-riwayah); sementara nas yang ditransmisikan oleh individu yang sedikit tidak memiliki tingkat otentisitas yang bisa diandalkan (maznun fir-riwayah). Di sini, nas yang disampaikan oleh individu-individu berjumlah banyak (mutawatir) mengandung tingkat kebenaran yang sebanding dengan pengetahuan yang diperoleh dengan indera.

Problem yang kedua, soal otoritas, merupakan kelanjutan dari problem yang pertama. Bila otentisitas teks-teks Islam tidaklah sempurna, bagaimana dengan otoritasnya? Solusi yang diberikan oleh para fukaha klasik adalah dengan melakukan pemilahan kekuatan otoritas nas berdasarkan tingkat otentisitas masing-masing nas. Nas yang memiliki tingkat otentisitas yang kuat akan memiliki otoritas yang besar pula; sementara nas yang tingkat kebenarannya tak dapat diandalkan memiliki tingkat otoritas yang lemah.

Tentu saja solusi ini masih belum menyelesaikan masalah karena teks yang otentik pun bukan merupakan nas yang bisa berbicara sendiri kepada manusia. Dibutuhkan perantara yang bertugas membaca dan menafsirkan nas tersebut agar maknanya diketahui oleh mereka yang memerlukan. Dan tidakkah penafsiran terhadap nas amat bergantung pada mereka yang menafsirkannya? Inilah problem interpretasi. Setiap nas sangat bisa menerima penafsiran dalam pelbagai bentuk (poly-interpretative). Ini tidak mungkin dicegah. Para fukaha hanya bisa menetapkan rambu-rambu, hingga sejauh mana suatu penafsiran dapat ditoleransi, dengan menetapkan kaidah-kaidah linguistik yang canggih. Penafsiran yang memiliki landasan epistemologis kuat (qat‘i ad-dilalah) akan bersifat otoritatif, tidak demikian hanya yang lemah landasan epistemologisnya (zanni ad-dilalah).

Karena fiqh bermula dari usaha menafsirkan nas yang bersifat personal dan individual, maka fiqh dengan demikian tak lebih dari sekadar hasil perjuangan personal, yang dalam bahasa Arab disebut ijtihad, untuk menemukan hukum Tuhan. Tidak mengherankan bila hasil ijtihad itu lalu tidak pernah dinisbatkan kepada atau malah diidentikkan dengan agama itu sendiri. Semuanya hanya merupakan opini dan pendirian pribadi (mazhab) yang sama-sama relatif dalam kaitannya dengan kebenaran. Mazhab-mazhab fiqh yang kita kenal, seperti Maliki, Hanafi, Syafi‘i, dan Hanbali dinisbatkan kepada nama para pendirinya yaitu Malik ibn Anas, Abu Hanifah, Muhammad ibn Idris al-Syafi‘i, dan Ahmad ibn Hanbal. Masing-masing mazhab ini harus menerima prinsip koeksistensi bersama mazhab-mazhab lainnya. Sebab kebenaran masing-masing opini sama-sama relatifnya. Sebuah kaidah fiqh meringkaskan prinsip ini dalam ungkapan: Hasil ijtihad tidak mungkin mengalahkan hasil ijtihad yang lain.

Akibatnya adalah, kecenderungan untuk memutlakkan kebenaran suatu opini akan diminimalisasikan hingga tingkat terendah. Pertama, fiqh selalu diupayakan sebagai wacana yang mandiri tanpa kaitan institusional apapun dengan negara. Dengan demikian, kecenderungan negara untuk memaksakan pemaknaan tunggal terhadap nas bisa dihindari dan kesempurnaan dan keabadian nas bisa dipertahankan dari polusi kepentingan duniawi. Kedua, setiap perselisihan internal dalam fiqh diselesaikan lewat metode konsensual, yaitu dengan perdebatan (jadal dan munazarah), hingga diperoleh konsensus (ijma‘ ). Bila ijma‘ gagal terjadi, maka ikhtilaf atau perselisihan para ulama mesti diterima. Ijma‘, bukan negara, dengan demikian dipandang sebagai otoritas tertinggi dalam hierarki sumber fiqh setelah Qur’an dan hadis. Otoritas ijma‘ dipandang absolut (maqtu‘ ) karena dilihat dari tingkat kebenarannya, ijma‘ sebanding dengan pengetahuan hasil cerapan panca indera dan informasi sejarah yang ditransmisikan oleh individu-individu yang tak terhitung jumlahnya. Di sini pun posisi ijma‘ bukannya tanpa masalah. Selalu ada perdebatan mengenai apa yang dimaksud dengan ijma‘, syarat-syaratnya, hingga status mereka yang melanggar ijma‘. Justru karena itulah kecenderungan menggunakan ijma‘ sebagai sarana hegemonik hampir tidak mungkin dilakukan.

II. 

Justru kesadaran seperti inilah yang hampir tidak bisa ditemukan dalam wacana fiqh kontemporer. Fiqh dan Syari‘ah dijumbukan begitu saja, bahkan muncul istilah baru yang semakin memperkabur makna fiqh: “hukum Islam.” Fatwa dan ijtihad ulama, yang mestinya dinilai sebagai opini pribadi yang kebenarannya relatif, dinilai mewakili “sikap Islam.” Tak jarang saya bertemu dengan tulisan yang berjudul “Pandangan Islam tentang Anu,” “Tinjauan Hukum Islam tentang Anu,” dan lain-lain. Saya tidak mengerti, yang memberikan pandangan atau tinjauan itu siapa, sang penulis, Islam atau Tuhan? Tidak ada penjelasan rinci dari sang pengarang. Seorang penulis berpendapat bahwa ijtihad dalam pengertian klasik yang personal dan individual tidak mungkin dilakukan lagi sekarang dan menyarankan dilakukannya “ijtihad kolektif.” Bagaimana caranya suatu usaha intelektual yang mestinya bersifat individual dilakukan secara kolektif, tidak pernah ia jelaskan. Ketika terjadi perdebatan kemarin mengenai fatwa MUI tentang bunga bank (arah perdebatan pun menurut saya keliru karena fatwa itu dipandang sebagai sikap “ortodoksi” Islam, seolah secara kelembagaan dan fungsinya, MUI itu sejajar dengan gereja dalam agama Kristen) seorang anggota MUI dengan enteng menjawab bahwa fatwa itu belum final dan masih merupakan hasil “ijma‘ sementara” komisi tertentu dalam MUI. Di sini, ijma‘ dipahami hanya sebagai sidang komisi atau rapat final MUI, tanpa mempedulikan nilai epistemologis konsep ini dan dampak pemakaian kata ini secara serampangan dalam mengeluarkan fatwa.

Nas-nas Qur’an dan hadis dikutip secara serampangan untuk mendukung suatu opini tanpa mempertimbangkan tingkat otentisitas, otoritas, dan problem interpretasi yang mungkin menyertai pengutipan tersebut. Ungkapan sami‘na wa ata‘na misalnya, dipakai untuk membenarkan sikap otoriter dan taklid buta tanpa memperhatikan konteks dan batas-batas pemaknaan ayat tersebut. Dalam diskusi yang menyusul sehubungan dengan larangan yang dikeluarkan pemerintah Prancis terhadap jilbab (bersama dengan apa yang dipandang sebagai simbol-simbol agama oleh pemerintah Prancis), saya juga menangkap tanggapan yang hendak mengangkat jilbab sebagai simbol ideologis, bahkan doktrinal, Islam. Andree Feillard bercerita bahwa dalam suatu kesempatan di Bandung, seorang dosen perempuan diminta tidak menyampaikan ceramah di depan peserta pria. Saat ia bersikukuh untuk tetap tampil di depan, mik yang ia pegang malah dicabut. Alasannya adalah suara wanita adalah aurat yang wajib ditutupi dari mereka yang bukan mahram. Sebuah argumentasi yang keterlaluan dan salah alamat. Di sini pun, opini pribadi ulama diangkat sebagai sesuatu yang sakral dan dilaksanakan dengan mengabaikan kondisi dan kepentingan, hal dan maslahah.

Bukankah sering kita mendengar bahwa opini pribadi seorang kiai yang menilai partai A itu bagus dan sebaiknya dicoblos dalam pemilu nanti sering disampaikan secara kategoris dan “diwajibkan” kepada para santrinya? Tidakkah opini sang kiai hanyalah hasil ijtihad yang kebenarannya juga masih relatif, sama relatifnya dengan pendapat santrinya yang mungkin berpendapat justru partai B yang lebih baik? Bukankah hasil ijtihad tidak bisa menghapus, apalagi dipaksakan atas, hasil ijtihad lainnya? Di sini, ruang untuk berselisih pendapat, ikhtilaf, telah dipersempit, dan relasi antara guru dan murid berubah menjadi hubungan otoritarian, bukannya dialogis. Penghormatan terhadap guru telah direduksi maknanya menjadi kepatuhan tanpa reserve oleh murid terhadap apapun yang disampaikan oleh sang guru.

Betapa pula sering saya dengar jargon Ikhwan al-Muslimin yang akhir-akhir ini di Tanah Air juga sering diucapkan atau ditulis dalam pamflet-pamflet: “Islam adalah Solusi,” berikut slogan-slogan lain yang membuat saya semakin bingung: “Qur’an adalah konstitusi,” dan seterusnya. Di sini, kesempurnaan Syari‘ah sebagai wahyu Tuhan begitu saja dirancukan dengan pemahaman manusia terhadapnya. Kemutlakan dan kesempurnaan kebenaran Syari‘ah merupakan satu hal; sementara pemahaman manusia terhadapnya merupakan hal lain. Tapi ini sama sekali tidak diperhatikan oleh mereka yang merasa semuanya akan beres bila Syari‘ah dilaksanakan secara sungguh-sungguh, mereka yang yakin bahwa korupsi akan hilang dan kriminalitas akan minim bila “hukum Islam” diterapkan di Indonesia.

Tuntutan sementara orang agar negara melegalisasikan “penerapan hukum Islam” juga memperlihatkan kerancuan yang akut dalam pemahaman orang mengenai fiqh dan relasinya dengan negara. Kita selalu diingatkan bahwa Islam menuntut penyerahan diri secara total (kaffah) dari seorang individu dan masyarakat yang mengaku Muslim. Maka karakter Islami, demikian argumen mereka, haruslah diterapkan bukan hanya dalam ibadah, tapi juga dalam bidang ekonomi, politik bahkan pengetahuan. Tapi tidakkah terpikirkan misalnya mengenai seberapa jauh “hukum Islam” kompatibel dengan sistem negara-bangsa dan sistem hukumnya? Tidakkah dipikirkan bahwa dalam konsepsi hukum modern, hukum dipandang sebagai salah satu aspek kekuasaan negara (state), sementara dalam konsepsi fiqh hukum merupakan bagian dari masyarakat (society)? Bukankah campur tangan negara dalam soal-soal pemaknaan nas dan perselisihan pendapat malah akan melahirkan efek koruptif?

Bila wacana fiqh kontemporer memiliki tendensi demikian, herankah kita bila sikap mutlak-mutlakan dan hegemonik melanda sebagian orang yang mengaku sebagai pelindung fiqh sehingga fiqh tampak sebagai lembaga keagamaan yang otoriter; sementara Osama bin Laden dan Imam Samudra meyakini kebrutalan yang mereka lakukan merupakan jihad di jalan Tuhan?

Kitab Kuning

Kitab Kuning dan Tradisi Intelektual yang Melahirkannya
M. Ma’mun Jauhari

I.

Saat menghadapi karya-karya klasik berbahasa Arab yang membicarakan ilmu-ilmu Islam, yang di lingkungan pesantren akrab disebut kitab kuning, orang sering tergoda untuk menganggapnya sebagai teks yang tertutup, final, stabil, dan steril dari faktor-faktor ruang atau waktu—berikut dimensi politik, ekonomi, sosial, atau budaya—yang mungkin saja memengaruhinya. Kecenderungan ini memang sering tidak bisa ditahan karena kitab kuning ditulis oleh para ulama klasik yang merupakan “pewaris Nabi” dan mewakili “ortodoksi” Islam. Dalam formatnya, kitab kuning juga kerap menggunakan gaya pengungkapan yang dingin, kaku dan mengeluarkan solusi dan fatwa yang tampak sudah final dan tidak bisa diganggu gugat. Bila kecenderungan ini ditambah pendirian esensialis, sikap yang memandang Islam memiliki esensi atau substansi dan bahwa esensi ini direkam di dalam teks-teks luhur yang dilahirkan oleh sejarah dan peradaban Islam, maka yang akan muncul adalah pendirian tekstualis yang terasa mengganggu.

Akan muncul sikap bahwa Islam, atau sebenarnya teks-teks kitab kuning, telah dan mesti memberikan solusi final atas segala persoalan dunia dan bahwa teks-teks tersebut dengan demikian perlu dipertahankan bukannya dikaji secara kritis dan objektif. Begitu pula dalam berhadapan dengan teks-teks kitab kuning itu sendiri, orang hanya memerlukan perlengkapan linguistik dan gramatika untuk membaca dan mengkajinya: nahwu, sarraf, balaghah dan yang semacamnya. Dan demikianlah, mereka yang telah diperlengkapi dengan bekal ilmu bahasa dan gramatika Arab sudah dipandang cakap dalam ilmu-ilmu Islam dan oleh karena itu telah cakap untuk menghadapi realitas sosial dengan segala problematikanya.

Tentu saja persepsi seperti ini jauh panggang daripada api. Ada banyak keberatan yang bisa diajukan terhadap sikap seperti ini. Salah satunya adalah: Dapatkah pendirian esensialis dipakai untuk membaca dan mengkaji literatur kitab kuning dan benarkah perlengkapan linguistik dan gramatika telah memadai untuk membaca dan mengkajinya? Kitab kuning, seperti teks-teks apapun, juga tumbuh dalam ruang dan waktu yang spesifik; ia lahir dari proses dialog antara manusia dan realitas di satu sisi, dan antara manusia dan teks di sisi yang lain. Tidak mungkin menempatkan kitab kuning dalam ruang yang kedap dari kritisisme dan kajian objektif, tak ubahnya fosil atau benda sejarah yang disimpan dan dipamerkan dalam museum; diamati, dikagumi, dirawat, tapi tak pernah diperbaharui dan disempurnakan.

II.

Kitab kuning lahir dari tradisi intelektual Abad Pertengahan. Fiqh, kalam, tasawuf dan falsafah merupakan tradisi-tradisi yang dihasilkan oleh masa itu. Para penyokong tradisi ini adalah para ulama. Mereka adalah para ahli ilmu keagamaan yang aktif terlibat dalam upaya penyebaran pengetahuan agama dalam jaringan dan sistem kesarjanaan yang berwatak kosmopolit. Jaringan kesarjanaan ini juga memiliki orientasi tanpa-negara (non-state oriented), yang berarti bahwa setiap perselisihan dan konflik yang berlangsung dalam sistem ini akan diselesaikan dengan proses konsensual, bukan lewat otoritas negara. Akibatnya, ikhtilaf dan ijma‘, perselisihan dan mufakat, merupakan dua konsep yang sering dipakai untuk melakukan toleransi atau tidak terhadap suatu pendirian. Tentu saja mustahil sebuah tradisi intelektual yang berusia lumayan panjang dan menjangkau ruang geografis demikian luas akan memiliki karakter yang stabil dan monolitik. Tradisi intelektual Islam Abad Pertengahan telah menghasilkan, untuk meminjam ungkapan Jalal al-Din al-Suyuti, “disiplin pengetahuan yang begitu banyak jumlahnya, tintanya bertebaran dari ujung barat sampai timur, ujungnya ada di dasar lautan yang tak terselami, dan puncaknya tak terjangkau di gunung tinggi.”

Problem pertama yang mesti dihadapi seseorang yang bermaksud menyelami literatur kitab kuning adalah soal kuantitas. Hampir tidak mungkin dilakukan kontrol bibliografis yang memuaskan terhadapnya. Ini tercermin dalam pengalaman upaya kontrol bibliografis yang sejauh ini telah diupayakan. Upaya terkenal Carl Brockelmann lewat bukunya, Geschichte der arabischen Litteratur yang dimulai pada 1898, untuk mendaftar buku-buku dan penulis Arab klasik, menghasilkan 2 jilid buku. Tapi segera pada 1937 hingga 1942 ia harus menyusulkan tiga jilid suplemen, dan terakhir pada 1943 hingga 1949 ia mesti melakukan revisi atas 2 jilid utama. Problem yang dihadapi Brockelmann sudah barang tentu adalah kesulitan untuk melacak manuskrip-manuskrip kuno yang tersimpan di pelbagai perpustakaan di Timur Tengah dan kesulitan untuk mengklasifikasinya. Usaha yang sejauh ini lebih sukses adalah yang dilakukan oleh Fuat Sezgin, yang mencoba merangkum semua judul manuskrip Arab klasik dalam semua disiplin ilmu dalam bukunya yang ia proyeksikan mencakup 14 jilid, Geschichte des arabischen Schrifttum.

Problem kedua adalah soal keragaman geografis. Kitab kuning ditulis oleh para ulama yang berasal dari latar belakang wilayah geografis yang sangat beragam. Semuanya memang terlibat dalam aktifitas ilmiah yang sepenuhnya berwatak kosmopolit, tapi dimensi regional bagi masing-masing penulis pastilah tak mungkin diabaikan. Di Abad Pertengahan, para ulama sudah biasa membedakan Dunia Islam menjadi dua: Timur (Masyriq) yang mencakup wilayah Arab Timur Tengah hingga Anak Benua India, dan Barat (Maghrib) yang mencakup wilayah Afrika Utara dan Spanyol. Bidayat al-Mujtahid karya Abul-Walid Ibn Rusyd dari Spanyol mewakili kesarjanaan Islam Barat; sementara Fath al-Mu‘in karya al-Malibari dari Anak Benua India mewakili dunia kesarjanaan Islam Timur. Beberapa penulis bahkan melampaui batas-batas geografis ini dengan melakukan hijrah, seperti yang dilakukan Ibn Malik, penulis Alfiyyah itu, yang pindah dari Jaen di Spanyol, ke Damaskus di Siria.

Perbedaan temporal juga mesti diperhatikan dalam mempelajari kitab kuning. Perbedaan rentang waktu mengakibatkan perbedaan formulasi suatu tesis atau gagasan. Karya-karya para pendiri mazhab seperti Muwatta’ karya Malik ibn Anas dan al-Risalah karya Muhammad ibn Idris al-Syafi‘i mewakili karya-karya yang masih sederhana dan belum sophisticated bila dibandingkan dengan kitab-kitab yang ditulis oleh para pengikut mereka dari masa belakangan; misalnya al-Muwafaqat fi Usul al-Fiqh karangan Abu Ishaq al-Syatibi dalam mazhab Maliki dan al-Ihkam fi Usul al-Ahkam dalam mazhab Syafi‘i. Sikap terhadap suatu problem juga bisa berubah karena perubahan jaman. Malik dan al-Syafi‘i hidup dalam jaman ketika tantangan ilmu-ilmu asing dari Yunani belum begitu terasa sehingga mereka cenderung memandang rendah dan melarang ilmu-ilmu rasional dan spekulasi dalam masalah-masalah akidah. Akan tetapi Abul-Hasan al-Asy‘ari yang hidup dalam jaman yang berbeda merasa perlu memberikan justifikasi terhadap ilmu-ilmu asing dan spekulasi rasional dalam masalah akidah dalam bukunya, Istihsan al-Khaudh fi ‘Ilm al-Kalam. Abul-Hasan al-Mawardi, penulis al-Ahkam al-Sultaniyyah itu masih optimistis bahwa Khilafah ‘Abbasiyah akan mampu bertahan dalam jangka waktu lama dan oleh karena itu meminta umat Islam mempertahan kesetiaan mereka kepada dinasti ini. Akan tetapi, al-Juwaini dan al-Ghazali yang hidup saat Dinasti ‘Abbasiyah mulai memudar dan mulai tergantung kepada elit militer yang menjadi penguasa de facto harus menerima realitas ini. Al-Ghazali membenarkan adanya kekuasaan daruri bil-syaukah. Al-Juwaini bahkan meramalkan Kekhalifahan akan runtuh di masa depan, suatu ramalan yang baru terbukti terjadi nanti di tahun 1924!

Tendensi konsensual yang dimiliki jaringan kesarjanaan ini juga mengakibatkan perbedaan mazhab atau aliran sebagai sesuatu yang lumrah, tanpa perlu ada pemilahan antara “ortodoksi” dan “heterodoksi”, antara ajaran yang diterima oleh otoritas resmi agama dan yang dianggap sesat. Perbedaan mazhab malahan akan cenderung diabaikan dalam setiap diskusi dan perdebatan ilmiah. Bulugh al-Maram tulisan Ibn Hajar al-‘Asqalani tentu saja adalah karya seorang ulama Sunni tulen, tapi komentar terhadap kitab ini ditulis oleh seorang penulis Syi‘ah Zaidi: Subul al-Salam ditulis oleh Ibn al-Amir dari San‘a’, Yaman, yang merupakan tempat konsentrasi kaum Syi‘ah Zaidi hingga jaman modern. Jangan dilupakan pula bahwa para penyokong Asy‘ariyyah tidak mesti dari mazhab Syafi‘i seperti yang sering dipersepsikan sekarang ini. Al-Juwaini dan al-Ghazali tentu saja bermazhab Syafi‘i, tetapi al-Baqillani adalah seorang ulama Maliki. Sebaliknya para ulama Syafi‘i akan memiliki latar belakang yang berbeda dalam soal akidah. Pendirian Abu Ishaq al-Syirazi, penulis Al-Luma‘ fi Usul al-Fiqh yang tradisionalis akan bertentangan dengan al-Qadi ‘Abd al-Jabbar, penulis Kitab al-‘Umdah, faqih Syafi‘i yang merupakan pemikir Mu‘tazilah pula.

Keterikatan kepada mazhab juga tidak mungkin sekaku dan doktriner seperti yang dipersepsikan orang sekarang ini. Mazhab lebih berarti ikatan intelektual, bukannya ikatan doktrinal. Hasilnya adalah perselisihan intra dan ekstra mazhab akan sering terjadi dan akan dijunjung tinggi sebagai salah satu bentuk kebebasan intelektual. Sikap terhadap ilmu mantiq yang berasal dari Yunani misalnya, akan beragam. Tadi sudah disinggung bahwa Malik dan al-Syafi‘i sama-sama menentang spekulasi rasional, tapi al-Ghazali, pengagum ilmu mantiq itu, merasa perlu memberikan pendahuluan tentang mantiq dalam kitab usul fiqhnya, Al-Mustasfa min ‘Ilm al-Usul, suatu sikap yang barangkali akan ditentang oleh kedua pendahulunya al-Juwaini dan al-Syirazi yang sama sekali tidak pernah menyinggung mantiq dalam buku-buku usul fiqh mereka. Jalal al-Din al-Suyuti, yang juga faqih Syafi‘i malahan merasa perlu menulis bantahan terhadap ilmu mantiq: Jahd al-Qarihah, tapi sikapnya ini lebih karena pengaruh Ibn Taimiyyah, faqih Hanbali yang memang pernah menulis Al-Radd ‘alal-Mantiqiyyin. Polemik terkenal antara al-Ghazali dan Ibn Rusyd yang bertajuk Tahafut: Al-Ghazali menulis Tahafut al-Falasifah untuk membantah ajaran para filosof Yunani klasik, tapi kemudian dijawab oleh Ibn Rusyd dalam bukunya Tahafut al-Tahafut, amat terkenal sekarang ini dan telah melahirkan banyak perdebatan ilmiah. Orang mungkin akan mengira permusuhan antara keduanya demikian mendarah daging. Tapi sebenarnya Ibn Rusyd, komentator karya-karya Aristoteles ini, juga menulis komentar terhadap buku usul fiqh al-Ghazali, Al-Mustasfa. Sebaliknya, sikap al-Ghazali terhadap ajaran para filosof klasik tidak mesti antipati. Magnum opusnya, Ihya’ ‘Ulum al-Din, juga merefleksikan etika Miskawaih dalam bukunya Tahzib al-Akhlaq, yang pada gilirannya mencerminkan etika Aristoteles dalam bukunya Nicomachean Ethics.

Tradisi konsensual juga akan menciptakan atmosfir yang menjunjung tinggi diskusi dan perdebatan, munazarah dan jadal, sebagai sarana untuk menghadapi perselisihan dan konflik. Proses ini sangat jelas terlihat dalam fiqh. Literatur fiqh bermula dari fatwa yang diajukan oleh seorang ulama. Bila seorang ulama lain menolak fatwa tersebut, ia serta merta akan menyampaikan fatwa sebaliknya. Selanjutnya, mesti ada perdebatan dan diskusi di antara keduanya untuk menentukan di mana di antara kedua fatwa ini yang dapat dipertahankan dan memiliki landasan kuat. Pendapat yang lemah adalah yang tidak bisa dipertahankan dalam perdebatan, dan selanjutnya lenyap dari peredaran. Sementara pendapat yang kokoh akan terus bertahan dan segera terhimpun dalam kitab-kitab resmi mazhab, entah mukhtasar ataupun mabsut. Bila perdebatan berakhir dengan hasil kedua fatwa sama-sama kokoh, yang akan terjadi adalah diterimanya prinsip ko-eksistensi lewat asas ikhtilaf: Semua pendapat adalah benar dan mesti diterima. Sebaliknya, bila hanya ada satu pendapat yang bertahan, berarti telah terjadi ijma‘: Pendapat tersebut akan dipandang sebagai satu-satunya pendapat yang benar, dan tidak mungkin lagi bisa diperdebatkan. Asas inilah yang dapat menjelaskan hilangnya kelompok-kelompok ekstrem dalam Islam, seperti mereka yang menentang qiyas, mazhab Zahiri, atau kelompok-kelompok sempalan yang membenarkan kekerasan dan teror untuk mempertahankan posisi mereka, seperti kaum Khawarij dan Syi‘ah Isma‘iliyah yang dikenal sebagai kaum Assassin di Eropa. Dua kelompok yang terakhir ini masih tetap bertahan saat ini di Afrika Utara dan Lebanon, tapi mereka harus memodifikasi posisi mereka menjadi lebih moderat agar diterima oleh kelompok-kelompok main-stream.

Bila kitab kuning tumbuh dalam tradisi intelektual yang menjunjung tinggi kebebasan individual dan akademis; dan bila para penulisnya, yaitu para ulama, bukan merupakan himpunan orang-orang yang seragam dan mufakat dalam pendirian dan sikap, maka tidak mungkin lagi literatur klasik ini dibaca lewat sikap tekstualis atau esensialis. Mesti disadari bahwa elemen-elemen eksternal demikian kuat memengaruhi dan menentukan wacana ini sehingga penilaian bahwa kitab kuning itu teks yang tertutup, final, stabil, dan steril dari faktor-faktor ruang atau waktu tidak mungkin dipertahankan lagi. Diperlukan sikap objektif dan terbuka dalam membaca dan mengkaji wacana kitab kuning sehingga, untuk mengutip Jalal al-Din al-Suyuti lagi, “sangat terbuka lebar bagi para ulama dari masa depan untuk memasuki bagian-bagian yang belum tersentuh oleh para ulama terdahulu.”

Beranda Rumah