Kamis, 17 Februari 2011

Kitab Kuning

Kitab Kuning dan Tradisi Intelektual yang Melahirkannya
M. Ma’mun Jauhari

I.

Saat menghadapi karya-karya klasik berbahasa Arab yang membicarakan ilmu-ilmu Islam, yang di lingkungan pesantren akrab disebut kitab kuning, orang sering tergoda untuk menganggapnya sebagai teks yang tertutup, final, stabil, dan steril dari faktor-faktor ruang atau waktu—berikut dimensi politik, ekonomi, sosial, atau budaya—yang mungkin saja memengaruhinya. Kecenderungan ini memang sering tidak bisa ditahan karena kitab kuning ditulis oleh para ulama klasik yang merupakan “pewaris Nabi” dan mewakili “ortodoksi” Islam. Dalam formatnya, kitab kuning juga kerap menggunakan gaya pengungkapan yang dingin, kaku dan mengeluarkan solusi dan fatwa yang tampak sudah final dan tidak bisa diganggu gugat. Bila kecenderungan ini ditambah pendirian esensialis, sikap yang memandang Islam memiliki esensi atau substansi dan bahwa esensi ini direkam di dalam teks-teks luhur yang dilahirkan oleh sejarah dan peradaban Islam, maka yang akan muncul adalah pendirian tekstualis yang terasa mengganggu.

Akan muncul sikap bahwa Islam, atau sebenarnya teks-teks kitab kuning, telah dan mesti memberikan solusi final atas segala persoalan dunia dan bahwa teks-teks tersebut dengan demikian perlu dipertahankan bukannya dikaji secara kritis dan objektif. Begitu pula dalam berhadapan dengan teks-teks kitab kuning itu sendiri, orang hanya memerlukan perlengkapan linguistik dan gramatika untuk membaca dan mengkajinya: nahwu, sarraf, balaghah dan yang semacamnya. Dan demikianlah, mereka yang telah diperlengkapi dengan bekal ilmu bahasa dan gramatika Arab sudah dipandang cakap dalam ilmu-ilmu Islam dan oleh karena itu telah cakap untuk menghadapi realitas sosial dengan segala problematikanya.

Tentu saja persepsi seperti ini jauh panggang daripada api. Ada banyak keberatan yang bisa diajukan terhadap sikap seperti ini. Salah satunya adalah: Dapatkah pendirian esensialis dipakai untuk membaca dan mengkaji literatur kitab kuning dan benarkah perlengkapan linguistik dan gramatika telah memadai untuk membaca dan mengkajinya? Kitab kuning, seperti teks-teks apapun, juga tumbuh dalam ruang dan waktu yang spesifik; ia lahir dari proses dialog antara manusia dan realitas di satu sisi, dan antara manusia dan teks di sisi yang lain. Tidak mungkin menempatkan kitab kuning dalam ruang yang kedap dari kritisisme dan kajian objektif, tak ubahnya fosil atau benda sejarah yang disimpan dan dipamerkan dalam museum; diamati, dikagumi, dirawat, tapi tak pernah diperbaharui dan disempurnakan.

II.

Kitab kuning lahir dari tradisi intelektual Abad Pertengahan. Fiqh, kalam, tasawuf dan falsafah merupakan tradisi-tradisi yang dihasilkan oleh masa itu. Para penyokong tradisi ini adalah para ulama. Mereka adalah para ahli ilmu keagamaan yang aktif terlibat dalam upaya penyebaran pengetahuan agama dalam jaringan dan sistem kesarjanaan yang berwatak kosmopolit. Jaringan kesarjanaan ini juga memiliki orientasi tanpa-negara (non-state oriented), yang berarti bahwa setiap perselisihan dan konflik yang berlangsung dalam sistem ini akan diselesaikan dengan proses konsensual, bukan lewat otoritas negara. Akibatnya, ikhtilaf dan ijma‘, perselisihan dan mufakat, merupakan dua konsep yang sering dipakai untuk melakukan toleransi atau tidak terhadap suatu pendirian. Tentu saja mustahil sebuah tradisi intelektual yang berusia lumayan panjang dan menjangkau ruang geografis demikian luas akan memiliki karakter yang stabil dan monolitik. Tradisi intelektual Islam Abad Pertengahan telah menghasilkan, untuk meminjam ungkapan Jalal al-Din al-Suyuti, “disiplin pengetahuan yang begitu banyak jumlahnya, tintanya bertebaran dari ujung barat sampai timur, ujungnya ada di dasar lautan yang tak terselami, dan puncaknya tak terjangkau di gunung tinggi.”

Problem pertama yang mesti dihadapi seseorang yang bermaksud menyelami literatur kitab kuning adalah soal kuantitas. Hampir tidak mungkin dilakukan kontrol bibliografis yang memuaskan terhadapnya. Ini tercermin dalam pengalaman upaya kontrol bibliografis yang sejauh ini telah diupayakan. Upaya terkenal Carl Brockelmann lewat bukunya, Geschichte der arabischen Litteratur yang dimulai pada 1898, untuk mendaftar buku-buku dan penulis Arab klasik, menghasilkan 2 jilid buku. Tapi segera pada 1937 hingga 1942 ia harus menyusulkan tiga jilid suplemen, dan terakhir pada 1943 hingga 1949 ia mesti melakukan revisi atas 2 jilid utama. Problem yang dihadapi Brockelmann sudah barang tentu adalah kesulitan untuk melacak manuskrip-manuskrip kuno yang tersimpan di pelbagai perpustakaan di Timur Tengah dan kesulitan untuk mengklasifikasinya. Usaha yang sejauh ini lebih sukses adalah yang dilakukan oleh Fuat Sezgin, yang mencoba merangkum semua judul manuskrip Arab klasik dalam semua disiplin ilmu dalam bukunya yang ia proyeksikan mencakup 14 jilid, Geschichte des arabischen Schrifttum.

Problem kedua adalah soal keragaman geografis. Kitab kuning ditulis oleh para ulama yang berasal dari latar belakang wilayah geografis yang sangat beragam. Semuanya memang terlibat dalam aktifitas ilmiah yang sepenuhnya berwatak kosmopolit, tapi dimensi regional bagi masing-masing penulis pastilah tak mungkin diabaikan. Di Abad Pertengahan, para ulama sudah biasa membedakan Dunia Islam menjadi dua: Timur (Masyriq) yang mencakup wilayah Arab Timur Tengah hingga Anak Benua India, dan Barat (Maghrib) yang mencakup wilayah Afrika Utara dan Spanyol. Bidayat al-Mujtahid karya Abul-Walid Ibn Rusyd dari Spanyol mewakili kesarjanaan Islam Barat; sementara Fath al-Mu‘in karya al-Malibari dari Anak Benua India mewakili dunia kesarjanaan Islam Timur. Beberapa penulis bahkan melampaui batas-batas geografis ini dengan melakukan hijrah, seperti yang dilakukan Ibn Malik, penulis Alfiyyah itu, yang pindah dari Jaen di Spanyol, ke Damaskus di Siria.

Perbedaan temporal juga mesti diperhatikan dalam mempelajari kitab kuning. Perbedaan rentang waktu mengakibatkan perbedaan formulasi suatu tesis atau gagasan. Karya-karya para pendiri mazhab seperti Muwatta’ karya Malik ibn Anas dan al-Risalah karya Muhammad ibn Idris al-Syafi‘i mewakili karya-karya yang masih sederhana dan belum sophisticated bila dibandingkan dengan kitab-kitab yang ditulis oleh para pengikut mereka dari masa belakangan; misalnya al-Muwafaqat fi Usul al-Fiqh karangan Abu Ishaq al-Syatibi dalam mazhab Maliki dan al-Ihkam fi Usul al-Ahkam dalam mazhab Syafi‘i. Sikap terhadap suatu problem juga bisa berubah karena perubahan jaman. Malik dan al-Syafi‘i hidup dalam jaman ketika tantangan ilmu-ilmu asing dari Yunani belum begitu terasa sehingga mereka cenderung memandang rendah dan melarang ilmu-ilmu rasional dan spekulasi dalam masalah-masalah akidah. Akan tetapi Abul-Hasan al-Asy‘ari yang hidup dalam jaman yang berbeda merasa perlu memberikan justifikasi terhadap ilmu-ilmu asing dan spekulasi rasional dalam masalah akidah dalam bukunya, Istihsan al-Khaudh fi ‘Ilm al-Kalam. Abul-Hasan al-Mawardi, penulis al-Ahkam al-Sultaniyyah itu masih optimistis bahwa Khilafah ‘Abbasiyah akan mampu bertahan dalam jangka waktu lama dan oleh karena itu meminta umat Islam mempertahan kesetiaan mereka kepada dinasti ini. Akan tetapi, al-Juwaini dan al-Ghazali yang hidup saat Dinasti ‘Abbasiyah mulai memudar dan mulai tergantung kepada elit militer yang menjadi penguasa de facto harus menerima realitas ini. Al-Ghazali membenarkan adanya kekuasaan daruri bil-syaukah. Al-Juwaini bahkan meramalkan Kekhalifahan akan runtuh di masa depan, suatu ramalan yang baru terbukti terjadi nanti di tahun 1924!

Tendensi konsensual yang dimiliki jaringan kesarjanaan ini juga mengakibatkan perbedaan mazhab atau aliran sebagai sesuatu yang lumrah, tanpa perlu ada pemilahan antara “ortodoksi” dan “heterodoksi”, antara ajaran yang diterima oleh otoritas resmi agama dan yang dianggap sesat. Perbedaan mazhab malahan akan cenderung diabaikan dalam setiap diskusi dan perdebatan ilmiah. Bulugh al-Maram tulisan Ibn Hajar al-‘Asqalani tentu saja adalah karya seorang ulama Sunni tulen, tapi komentar terhadap kitab ini ditulis oleh seorang penulis Syi‘ah Zaidi: Subul al-Salam ditulis oleh Ibn al-Amir dari San‘a’, Yaman, yang merupakan tempat konsentrasi kaum Syi‘ah Zaidi hingga jaman modern. Jangan dilupakan pula bahwa para penyokong Asy‘ariyyah tidak mesti dari mazhab Syafi‘i seperti yang sering dipersepsikan sekarang ini. Al-Juwaini dan al-Ghazali tentu saja bermazhab Syafi‘i, tetapi al-Baqillani adalah seorang ulama Maliki. Sebaliknya para ulama Syafi‘i akan memiliki latar belakang yang berbeda dalam soal akidah. Pendirian Abu Ishaq al-Syirazi, penulis Al-Luma‘ fi Usul al-Fiqh yang tradisionalis akan bertentangan dengan al-Qadi ‘Abd al-Jabbar, penulis Kitab al-‘Umdah, faqih Syafi‘i yang merupakan pemikir Mu‘tazilah pula.

Keterikatan kepada mazhab juga tidak mungkin sekaku dan doktriner seperti yang dipersepsikan orang sekarang ini. Mazhab lebih berarti ikatan intelektual, bukannya ikatan doktrinal. Hasilnya adalah perselisihan intra dan ekstra mazhab akan sering terjadi dan akan dijunjung tinggi sebagai salah satu bentuk kebebasan intelektual. Sikap terhadap ilmu mantiq yang berasal dari Yunani misalnya, akan beragam. Tadi sudah disinggung bahwa Malik dan al-Syafi‘i sama-sama menentang spekulasi rasional, tapi al-Ghazali, pengagum ilmu mantiq itu, merasa perlu memberikan pendahuluan tentang mantiq dalam kitab usul fiqhnya, Al-Mustasfa min ‘Ilm al-Usul, suatu sikap yang barangkali akan ditentang oleh kedua pendahulunya al-Juwaini dan al-Syirazi yang sama sekali tidak pernah menyinggung mantiq dalam buku-buku usul fiqh mereka. Jalal al-Din al-Suyuti, yang juga faqih Syafi‘i malahan merasa perlu menulis bantahan terhadap ilmu mantiq: Jahd al-Qarihah, tapi sikapnya ini lebih karena pengaruh Ibn Taimiyyah, faqih Hanbali yang memang pernah menulis Al-Radd ‘alal-Mantiqiyyin. Polemik terkenal antara al-Ghazali dan Ibn Rusyd yang bertajuk Tahafut: Al-Ghazali menulis Tahafut al-Falasifah untuk membantah ajaran para filosof Yunani klasik, tapi kemudian dijawab oleh Ibn Rusyd dalam bukunya Tahafut al-Tahafut, amat terkenal sekarang ini dan telah melahirkan banyak perdebatan ilmiah. Orang mungkin akan mengira permusuhan antara keduanya demikian mendarah daging. Tapi sebenarnya Ibn Rusyd, komentator karya-karya Aristoteles ini, juga menulis komentar terhadap buku usul fiqh al-Ghazali, Al-Mustasfa. Sebaliknya, sikap al-Ghazali terhadap ajaran para filosof klasik tidak mesti antipati. Magnum opusnya, Ihya’ ‘Ulum al-Din, juga merefleksikan etika Miskawaih dalam bukunya Tahzib al-Akhlaq, yang pada gilirannya mencerminkan etika Aristoteles dalam bukunya Nicomachean Ethics.

Tradisi konsensual juga akan menciptakan atmosfir yang menjunjung tinggi diskusi dan perdebatan, munazarah dan jadal, sebagai sarana untuk menghadapi perselisihan dan konflik. Proses ini sangat jelas terlihat dalam fiqh. Literatur fiqh bermula dari fatwa yang diajukan oleh seorang ulama. Bila seorang ulama lain menolak fatwa tersebut, ia serta merta akan menyampaikan fatwa sebaliknya. Selanjutnya, mesti ada perdebatan dan diskusi di antara keduanya untuk menentukan di mana di antara kedua fatwa ini yang dapat dipertahankan dan memiliki landasan kuat. Pendapat yang lemah adalah yang tidak bisa dipertahankan dalam perdebatan, dan selanjutnya lenyap dari peredaran. Sementara pendapat yang kokoh akan terus bertahan dan segera terhimpun dalam kitab-kitab resmi mazhab, entah mukhtasar ataupun mabsut. Bila perdebatan berakhir dengan hasil kedua fatwa sama-sama kokoh, yang akan terjadi adalah diterimanya prinsip ko-eksistensi lewat asas ikhtilaf: Semua pendapat adalah benar dan mesti diterima. Sebaliknya, bila hanya ada satu pendapat yang bertahan, berarti telah terjadi ijma‘: Pendapat tersebut akan dipandang sebagai satu-satunya pendapat yang benar, dan tidak mungkin lagi bisa diperdebatkan. Asas inilah yang dapat menjelaskan hilangnya kelompok-kelompok ekstrem dalam Islam, seperti mereka yang menentang qiyas, mazhab Zahiri, atau kelompok-kelompok sempalan yang membenarkan kekerasan dan teror untuk mempertahankan posisi mereka, seperti kaum Khawarij dan Syi‘ah Isma‘iliyah yang dikenal sebagai kaum Assassin di Eropa. Dua kelompok yang terakhir ini masih tetap bertahan saat ini di Afrika Utara dan Lebanon, tapi mereka harus memodifikasi posisi mereka menjadi lebih moderat agar diterima oleh kelompok-kelompok main-stream.

Bila kitab kuning tumbuh dalam tradisi intelektual yang menjunjung tinggi kebebasan individual dan akademis; dan bila para penulisnya, yaitu para ulama, bukan merupakan himpunan orang-orang yang seragam dan mufakat dalam pendirian dan sikap, maka tidak mungkin lagi literatur klasik ini dibaca lewat sikap tekstualis atau esensialis. Mesti disadari bahwa elemen-elemen eksternal demikian kuat memengaruhi dan menentukan wacana ini sehingga penilaian bahwa kitab kuning itu teks yang tertutup, final, stabil, dan steril dari faktor-faktor ruang atau waktu tidak mungkin dipertahankan lagi. Diperlukan sikap objektif dan terbuka dalam membaca dan mengkaji wacana kitab kuning sehingga, untuk mengutip Jalal al-Din al-Suyuti lagi, “sangat terbuka lebar bagi para ulama dari masa depan untuk memasuki bagian-bagian yang belum tersentuh oleh para ulama terdahulu.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar