Kamis, 17 Februari 2011

Hilangnya Epistemologi

Hilangnya Epistemologi dari Wacana Fiqh Kontemporer

M. Ma’mun Jauhari


I.

Saya merasa ada sesuatu yang hilang dari tradisi intelektual klasik kala saya berhadapan dengan wacana Islam kontemporer, yaitu sikap rendah hati.

Saat berkenalan dengan disiplin-disiplin Islam klasik seperti tafsir, hadis, fiqh, usul fiqh, atau kalam, saya selalu berjumpa dengan penegasan yang tak pernah lelah diulang-ulang bahwa betapapun gagasan-gagasan yang dihasilkan oleh para pemikir klasik tersebut didasarkan pada teks-teks otoritatif Islam yang kebenarannya mutlak diterima oleh setiap Muslim, yaitu Qur’an dan hadis, selalu ada kesadaran bahwa gagasan mereka hanyalah hasil kerja membaca dan menafsirkan yang akan selalu bersifat subjektif, dengan tingkat kebenaran yang relatif dan oleh karena itu tidak boleh diidentikkan dengan teks-teks otoritatif itu sendiri.

Saya ingin membicarakan satu tradisi intelektual yang saya kenal dengan baik, yaitu fiqh, untuk membuktikan hal ini. Sikap rendah hati sudah tercermin bahkan dalam nama yang dipilih untuk menunjuk disiplin ilmu ini. Fiqh berasal dari akar kata f-q-h yang bermakna memahami atau menafsirkan. Secara tersirat tampaknya para pembangun disiplin ini hendak menegaskan bahwa apa yang mereka bicarakan dan diskusikan dalam kitab kuning yang mereka tulis hanyalah merupakan hasil pemahaman dan interpretasi mereka atas teks Qur’an dan hadis dan dengan demikian tidak mungkin memiliki kebenaran absolut seperti yang disandang oleh keduanya. Fiqh dengan begitu akan dipilah dari Syari‘ah, yang merupakan sumber fiqh dan identik dengan wahyu itu sendiri; keduanya tidak bisa dijumbuhkan begitu saja.

Sikap ini menurut saya bermula dari pendirian epistemologis fiqh yang merasa seti daknya ada tiga problem yang mesti dihadapi seseorang saat berhadapan dengan teks-teks otoritatif, yaitu: problem otentisitas, otoritas, dan interpretasi. Setiap tulisan mengenai usul fiqh selalu didahului oleh pengantar tentang epistemologi. Di dalam al-Luma‘ fi Usul al-Fiqh misalnya, Abu Ishaq al-Syirazi berwanti-wanti bahwa pengetahuan manusia (‘ilm al-khalq) berbeda dari pengetahuan Tuhan (‘ilm al-Khaliq) dalam kesempurnaan dan kebenarannya. Sementara pengetahuan yang disebut terakhir benar-benar tanpa cacat dan tidak bisa diklasifikasi berdasarkan tingkat kebenarannya; hal yang sebaliknya justru berlaku dalam pengetahuan manusia. Pengetahuan manusia adakalanya benar karena diperoleh lewat pencerapan langsung (daruri) oleh panca indera atau muncul secara a priori dalam diri manusia, tapi sering juga hanya mencapai tingkat probabilitas, karena cuma diperoleh (muktasab) lewat inferensi atau penalaran. Lebih jauh lagi, manusia malah lebih sering hanya mencapai praduga atau hipotesis (zann), bukan pengetahuan dalam upayanya menemukan kebenaran. Kebenaran (al-Haqq) merupakan objek yang elusif karena keagungan dan kesempurnaannya. Ia merupakan sifat Tuhan itu sendiri. Bahasa Arab biasanya menganalogikan pengetahuan dengan lautan dan ketidakmampuan manusia untuk meneguk air lautan dibandingkan dengan kelemahan manusia untuk menangkap kebenaran. Dari sini kemudian usul fiqh melakukan pemilahan antara pengetahuan yang mencapai derajat kepastian (qat‘i), dan pengetahuan yang hanya mencapai tingkat probabilitas (zann). Pemilahan inilah yang kemudian menjadi perspektif dalam menilai dan membandingkan teori-teori yang beragam dalam fiqh.

Syari‘ah, petunjuk Tuhan kepada manusia, yang diturunkan kepada Muhammad dalam bentuk teks Qur’an dan hadis, merupakan Kebenaran yang Tuhan perlihatkan kepada manusia. Tapi mampukah manusia meneguknya? Dari sinilah muncul ketiga problem epistemologis yang saya sebutkan di atas. Semuanya muncul karena petunjuk Tuhan tersebut datang kepada manusia dalam bentuk teks, yang dengan demikian hanya merupakan penanda (dilalah) belaka atas hukum sempurna milik Tuhan. Diperlukan perantara agar dalil ini bisa “berbicara” kepada manusia, sementara mereka yang ditunjuk sebagai perantara, para fukaha, merupakan individu-individu yang bebas tapi tak lebih sempurna ketimbang manusia-manusia lainnya.

Problem otentisitas bertolak dari kesadaran bahwa teks agama merupakan teks historis yang ditransmisikan dalam jangka waktu lama sehingga memiliki kemungkinan dipalsukan atau diselewengkan akibat faktor waktu. Akibatnya kemudian, harus dikembangkan metode yang efektif untuk menentukan otentisitas suatu nas. Fungsi inilah yang dijalankan oleh ilmu kritik sejarah, disiplin yang bertugas meneliti otentisitas nas lewat kritik transmisi dan konteks. Usul fiqh lalu mengklasifikasi nas berdasarkan tingkat otentisitasnya: Nas yang ditransmisikan oleh individu-individu yang berjumlah banyak merupakan nas yang memiliki tingkat kebenaran yang kuat (maqtu‘ fir-riwayah); sementara nas yang ditransmisikan oleh individu yang sedikit tidak memiliki tingkat otentisitas yang bisa diandalkan (maznun fir-riwayah). Di sini, nas yang disampaikan oleh individu-individu berjumlah banyak (mutawatir) mengandung tingkat kebenaran yang sebanding dengan pengetahuan yang diperoleh dengan indera.

Problem yang kedua, soal otoritas, merupakan kelanjutan dari problem yang pertama. Bila otentisitas teks-teks Islam tidaklah sempurna, bagaimana dengan otoritasnya? Solusi yang diberikan oleh para fukaha klasik adalah dengan melakukan pemilahan kekuatan otoritas nas berdasarkan tingkat otentisitas masing-masing nas. Nas yang memiliki tingkat otentisitas yang kuat akan memiliki otoritas yang besar pula; sementara nas yang tingkat kebenarannya tak dapat diandalkan memiliki tingkat otoritas yang lemah.

Tentu saja solusi ini masih belum menyelesaikan masalah karena teks yang otentik pun bukan merupakan nas yang bisa berbicara sendiri kepada manusia. Dibutuhkan perantara yang bertugas membaca dan menafsirkan nas tersebut agar maknanya diketahui oleh mereka yang memerlukan. Dan tidakkah penafsiran terhadap nas amat bergantung pada mereka yang menafsirkannya? Inilah problem interpretasi. Setiap nas sangat bisa menerima penafsiran dalam pelbagai bentuk (poly-interpretative). Ini tidak mungkin dicegah. Para fukaha hanya bisa menetapkan rambu-rambu, hingga sejauh mana suatu penafsiran dapat ditoleransi, dengan menetapkan kaidah-kaidah linguistik yang canggih. Penafsiran yang memiliki landasan epistemologis kuat (qat‘i ad-dilalah) akan bersifat otoritatif, tidak demikian hanya yang lemah landasan epistemologisnya (zanni ad-dilalah).

Karena fiqh bermula dari usaha menafsirkan nas yang bersifat personal dan individual, maka fiqh dengan demikian tak lebih dari sekadar hasil perjuangan personal, yang dalam bahasa Arab disebut ijtihad, untuk menemukan hukum Tuhan. Tidak mengherankan bila hasil ijtihad itu lalu tidak pernah dinisbatkan kepada atau malah diidentikkan dengan agama itu sendiri. Semuanya hanya merupakan opini dan pendirian pribadi (mazhab) yang sama-sama relatif dalam kaitannya dengan kebenaran. Mazhab-mazhab fiqh yang kita kenal, seperti Maliki, Hanafi, Syafi‘i, dan Hanbali dinisbatkan kepada nama para pendirinya yaitu Malik ibn Anas, Abu Hanifah, Muhammad ibn Idris al-Syafi‘i, dan Ahmad ibn Hanbal. Masing-masing mazhab ini harus menerima prinsip koeksistensi bersama mazhab-mazhab lainnya. Sebab kebenaran masing-masing opini sama-sama relatifnya. Sebuah kaidah fiqh meringkaskan prinsip ini dalam ungkapan: Hasil ijtihad tidak mungkin mengalahkan hasil ijtihad yang lain.

Akibatnya adalah, kecenderungan untuk memutlakkan kebenaran suatu opini akan diminimalisasikan hingga tingkat terendah. Pertama, fiqh selalu diupayakan sebagai wacana yang mandiri tanpa kaitan institusional apapun dengan negara. Dengan demikian, kecenderungan negara untuk memaksakan pemaknaan tunggal terhadap nas bisa dihindari dan kesempurnaan dan keabadian nas bisa dipertahankan dari polusi kepentingan duniawi. Kedua, setiap perselisihan internal dalam fiqh diselesaikan lewat metode konsensual, yaitu dengan perdebatan (jadal dan munazarah), hingga diperoleh konsensus (ijma‘ ). Bila ijma‘ gagal terjadi, maka ikhtilaf atau perselisihan para ulama mesti diterima. Ijma‘, bukan negara, dengan demikian dipandang sebagai otoritas tertinggi dalam hierarki sumber fiqh setelah Qur’an dan hadis. Otoritas ijma‘ dipandang absolut (maqtu‘ ) karena dilihat dari tingkat kebenarannya, ijma‘ sebanding dengan pengetahuan hasil cerapan panca indera dan informasi sejarah yang ditransmisikan oleh individu-individu yang tak terhitung jumlahnya. Di sini pun posisi ijma‘ bukannya tanpa masalah. Selalu ada perdebatan mengenai apa yang dimaksud dengan ijma‘, syarat-syaratnya, hingga status mereka yang melanggar ijma‘. Justru karena itulah kecenderungan menggunakan ijma‘ sebagai sarana hegemonik hampir tidak mungkin dilakukan.

II. 

Justru kesadaran seperti inilah yang hampir tidak bisa ditemukan dalam wacana fiqh kontemporer. Fiqh dan Syari‘ah dijumbukan begitu saja, bahkan muncul istilah baru yang semakin memperkabur makna fiqh: “hukum Islam.” Fatwa dan ijtihad ulama, yang mestinya dinilai sebagai opini pribadi yang kebenarannya relatif, dinilai mewakili “sikap Islam.” Tak jarang saya bertemu dengan tulisan yang berjudul “Pandangan Islam tentang Anu,” “Tinjauan Hukum Islam tentang Anu,” dan lain-lain. Saya tidak mengerti, yang memberikan pandangan atau tinjauan itu siapa, sang penulis, Islam atau Tuhan? Tidak ada penjelasan rinci dari sang pengarang. Seorang penulis berpendapat bahwa ijtihad dalam pengertian klasik yang personal dan individual tidak mungkin dilakukan lagi sekarang dan menyarankan dilakukannya “ijtihad kolektif.” Bagaimana caranya suatu usaha intelektual yang mestinya bersifat individual dilakukan secara kolektif, tidak pernah ia jelaskan. Ketika terjadi perdebatan kemarin mengenai fatwa MUI tentang bunga bank (arah perdebatan pun menurut saya keliru karena fatwa itu dipandang sebagai sikap “ortodoksi” Islam, seolah secara kelembagaan dan fungsinya, MUI itu sejajar dengan gereja dalam agama Kristen) seorang anggota MUI dengan enteng menjawab bahwa fatwa itu belum final dan masih merupakan hasil “ijma‘ sementara” komisi tertentu dalam MUI. Di sini, ijma‘ dipahami hanya sebagai sidang komisi atau rapat final MUI, tanpa mempedulikan nilai epistemologis konsep ini dan dampak pemakaian kata ini secara serampangan dalam mengeluarkan fatwa.

Nas-nas Qur’an dan hadis dikutip secara serampangan untuk mendukung suatu opini tanpa mempertimbangkan tingkat otentisitas, otoritas, dan problem interpretasi yang mungkin menyertai pengutipan tersebut. Ungkapan sami‘na wa ata‘na misalnya, dipakai untuk membenarkan sikap otoriter dan taklid buta tanpa memperhatikan konteks dan batas-batas pemaknaan ayat tersebut. Dalam diskusi yang menyusul sehubungan dengan larangan yang dikeluarkan pemerintah Prancis terhadap jilbab (bersama dengan apa yang dipandang sebagai simbol-simbol agama oleh pemerintah Prancis), saya juga menangkap tanggapan yang hendak mengangkat jilbab sebagai simbol ideologis, bahkan doktrinal, Islam. Andree Feillard bercerita bahwa dalam suatu kesempatan di Bandung, seorang dosen perempuan diminta tidak menyampaikan ceramah di depan peserta pria. Saat ia bersikukuh untuk tetap tampil di depan, mik yang ia pegang malah dicabut. Alasannya adalah suara wanita adalah aurat yang wajib ditutupi dari mereka yang bukan mahram. Sebuah argumentasi yang keterlaluan dan salah alamat. Di sini pun, opini pribadi ulama diangkat sebagai sesuatu yang sakral dan dilaksanakan dengan mengabaikan kondisi dan kepentingan, hal dan maslahah.

Bukankah sering kita mendengar bahwa opini pribadi seorang kiai yang menilai partai A itu bagus dan sebaiknya dicoblos dalam pemilu nanti sering disampaikan secara kategoris dan “diwajibkan” kepada para santrinya? Tidakkah opini sang kiai hanyalah hasil ijtihad yang kebenarannya juga masih relatif, sama relatifnya dengan pendapat santrinya yang mungkin berpendapat justru partai B yang lebih baik? Bukankah hasil ijtihad tidak bisa menghapus, apalagi dipaksakan atas, hasil ijtihad lainnya? Di sini, ruang untuk berselisih pendapat, ikhtilaf, telah dipersempit, dan relasi antara guru dan murid berubah menjadi hubungan otoritarian, bukannya dialogis. Penghormatan terhadap guru telah direduksi maknanya menjadi kepatuhan tanpa reserve oleh murid terhadap apapun yang disampaikan oleh sang guru.

Betapa pula sering saya dengar jargon Ikhwan al-Muslimin yang akhir-akhir ini di Tanah Air juga sering diucapkan atau ditulis dalam pamflet-pamflet: “Islam adalah Solusi,” berikut slogan-slogan lain yang membuat saya semakin bingung: “Qur’an adalah konstitusi,” dan seterusnya. Di sini, kesempurnaan Syari‘ah sebagai wahyu Tuhan begitu saja dirancukan dengan pemahaman manusia terhadapnya. Kemutlakan dan kesempurnaan kebenaran Syari‘ah merupakan satu hal; sementara pemahaman manusia terhadapnya merupakan hal lain. Tapi ini sama sekali tidak diperhatikan oleh mereka yang merasa semuanya akan beres bila Syari‘ah dilaksanakan secara sungguh-sungguh, mereka yang yakin bahwa korupsi akan hilang dan kriminalitas akan minim bila “hukum Islam” diterapkan di Indonesia.

Tuntutan sementara orang agar negara melegalisasikan “penerapan hukum Islam” juga memperlihatkan kerancuan yang akut dalam pemahaman orang mengenai fiqh dan relasinya dengan negara. Kita selalu diingatkan bahwa Islam menuntut penyerahan diri secara total (kaffah) dari seorang individu dan masyarakat yang mengaku Muslim. Maka karakter Islami, demikian argumen mereka, haruslah diterapkan bukan hanya dalam ibadah, tapi juga dalam bidang ekonomi, politik bahkan pengetahuan. Tapi tidakkah terpikirkan misalnya mengenai seberapa jauh “hukum Islam” kompatibel dengan sistem negara-bangsa dan sistem hukumnya? Tidakkah dipikirkan bahwa dalam konsepsi hukum modern, hukum dipandang sebagai salah satu aspek kekuasaan negara (state), sementara dalam konsepsi fiqh hukum merupakan bagian dari masyarakat (society)? Bukankah campur tangan negara dalam soal-soal pemaknaan nas dan perselisihan pendapat malah akan melahirkan efek koruptif?

Bila wacana fiqh kontemporer memiliki tendensi demikian, herankah kita bila sikap mutlak-mutlakan dan hegemonik melanda sebagian orang yang mengaku sebagai pelindung fiqh sehingga fiqh tampak sebagai lembaga keagamaan yang otoriter; sementara Osama bin Laden dan Imam Samudra meyakini kebrutalan yang mereka lakukan merupakan jihad di jalan Tuhan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar