Senin, 21 Maret 2011

Ulama dan Politik dalam Masyarakat Muslim

Ulama dan Politik dalam Masyarakat Muslim

“[U]lama yang terburuk adalah yang menerima hadiah dari penguasa, dan yang kesejahteraan dan keselamatannya bergantung pada dan berasal dari rasa takut kepada penguasa…” (Jalal al-Din Rumi, [1996: 13]).

Para ulama—dalam pelbagai variasi spasial dan temporalnya—merupakan elite sosial Islam yang cukup rumit dibicarakan dalam bingkai studi-studi sosiologis. Siapakah mereka, peran dan kedudukan apa yang mereka sandang dalam masyarakat Islam, merupakan pertanyaan-pertanyaan sederhana tapi sulit dijawab. Cukup ironis karena kita tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi justru karena para ulama sering lalu-lalang dalam perbincangan orang dan paling sering dirasani orang akhir-akhir ini. Ambiguitas yang timbul dalam membicarakan relasi antara ulama dan politik timbul karena hal ini. Bolehkah para ulama boleh berpolitik? Kalau tidak, haruskah mereka tinggal di dalam menara gading apolitisme? Lalu bila mereka boleh aktif berpolitik, bagaimanakah format politik yang pantas bagi mereka?

Tulisan sederhana ini bermaksud mendiskusikan kerumitan relasi antara ulama dan politik dengan melihat pengalaman sejarah sosial ulama di Abad Pertengahan. Masa ini penting karena warisan politik yang ditinggalkan oleh masa ini akan terus dibawa dan dipandang normatif oleh generasi-generasi selanjutnya. Problem dan ambiguitas relasi antara ulama dan politik timbul karena pengalaman sejarah ini.

Munculnya Ulama sebagai Elite Agama


Cukup sulit merumuskan siapa para ulama itu, lebih-lebih asal-usul kemunculan mereka dalam sejarah masyarakat Muslim. Secara etimologis, ‘ulama (tunggal: ‘alim) adalah kata benda partisipatif yang berarti “mereka yang berpengetahuan.” Sebagai istilah generik untuk menunjuk kaum terpelajar dan terdidik dalam masyarakat Muslim di Abad Pertengahan, nama ulama lebih sering menyisakan problem ketimbang menyelesaikannya. Namun demikian, cukup beralasan bila kita menggunakan kata ulama untuk mengacu pada para ahli agama dan ajaran agama dalam segala tipenya: faqih, qadhi, ahli hadis, imam, muballigh, mufti, sufi dan siapapun yang kompeten dalam masalah-masalah agama (Gilbert, 1980: 105).

Munculnya para ulama sebagai elite sosial dalam masyarakat Muslim tidak dapat dipisahkan dari proses penyebaran Islam sendiri. Sepeninggal Nabi Muhammad pada tahun 632, transformasi sosial menyebabkan migrasi besar-besaran orang-orang Arab Muslim ke Persia, Bulan Sabit Subur hingga ke Afrika Utara. Lewat proses ini, para Sahabat dan Tabi‘in, dua generasi pertama kaum Muslim berkelana ke berbagai tempat untuk belajar dan menyebarkan ajaran agama. Konversi kelompok-kelompok etnis dan masyarakat pribumi di daerah-daerah di atas menyebabkan terbentuknya lalu lintas pengetahuan agama yang berwatak kosmopolit. Orang-orang yang berasal dari wilayah-wilayah geografis terpencil mengelana untuk mencari ilmu atau sebaliknya para ulama dari pusat peradaban Islam berdakwah hingga ke wilayah periferi.

‘Kaum terpelajar’ ini semakin mengukuhkan posisi dan peran sosial mereka sebagai “pewaris Nabi” dengan menjadi imam, qadhi atau guru. Dengan kata lain, mereka menjadi agen utama penyebaran Islam dan transmisi teks-teks dan ajaran suci Islam. Namun keliru rasanya bila para ulama dipandang sebagai sebuah kelompok korporatif atau keulamaan dipandang sebagai sebuah profesi. Sebab, pertama, pendidikan mereka sangat individual dan personal. Para ulama dan murid-murid mereka berkelana untuk mencari dan menyebarkan ilmu tanpa organisasi, sistem dan lembaga pendidikan yang hierarkis dan sentralistik. Akibatnya, tidak mungkin kaum ulama ini tumbuh menjadi organisasi yang hierarkis dan sentralistik dan bermetamorfosis menjadi kelas yang lumayan kohesif dan monolitik. Kedua tentu saja adalah bahwa para ulama ini tidak menjadikan posisi mereka sebagai ulama profesi satu-satunya atau bahkan yang utama di antara profesi yang bisa mereka miliki. Glick (1979: 151-152) misalnya, saat meneliti struktur pendapatan para ulama (dan sufi) di Spanyol Muslim mendapati bahwa hampir kesemuanya memiliki profesi ekstra di bidang non-religius.

Absolutisme Negara dan Oposisi Religius


Bila kemunculan ulama sebagai elite mayarakat Muslim baru terjadi pada generasi ketiga kaum Muslim, ini berarti bahwa kemunculan mereka berbarengan dengan proses yang oleh Ira Lapidus (1975) disebut “pemisahan antara agama dan negara” (the separation of state and religion) dalam masyarakat Muslim. Konsolidasi Dinasti Umayyah dan penggantinya, Dinasti ‘Abbasiyah sebagai kekhalifahan yang berlandaskan pada legitimasi dinasti, militer dan sekular mengakibatkan karakter kekhalifahan yang dahulunya religius, demokratis dan egalitarian menjadi sekular, sentralistik, absolutis dan militeristik. Terutama dinasti yang disebut terakhir secara kentara mewarisi tradisi absolutis sistem kenegaraan Persia yang memandang ideal sentralisasi kekuasaan dan penyatuan kekuasaan sekular dan religius di tangan penguasa.

Bagi mereka yang memandang praktik kenabian dan khulafa’ al-rasyidun sebagai warisan politik yang bersifat normatif, praktik politik Dinasti Umayyah dan ‘Abbasiyah merupakan penghujatan secara terang-terangan terhadap ajaran Islam. Kelompok-kelompok politiko-religius awal seperti kaum Khawarij dan Syi‘ah merupakan reaksi terhadap ‘penyimpangan’ kekhalifahan dari karakter sejatinya. Kedua kelompok ini menentang kedua dinasti ini dengan melakukan sejumlah pemberontakan. Perlawanan kedua kelompok ini tentu saja menemui kegagalan dan mereka terus menjadi minoritas dalam masyarakat Muslim. Namun demikian, bahkan mereka yang memilih bersikap diam pun memandang praktik politik Dinasti Umayyah dan ‘Abbasiyah sebagai penyimpangan yang mesti diterima hanya karena alasan realpolitik. Mereka memilih untuk tidak memiliki ikatan struktural dalam bentuk apapun dengan negara dan sebaliknya membangun sistem otoritas dan kepatuhan tandingan. Mazhab-mazhab fikih, aliran-aliran akidah dan tarekat sufi merupakan institusi-institusi religius yang berwatak individual dan sama sekali tidak digantungkan pada negara.

Dari sini, terjadi ketegangan dan konflik antara ulama dan negara. Terjadi perebutan legitimasi agama (contest for religious legitimation) antara ulama dan khalifah. Di satu sisi, para khalifah atau imam berupaya mendapatkan legitimasi politik dan religius lewat perannya sebagai pelindung masyarakat Muslim dan pewaris kekuasaan politik Nabi. Mereka mengklaim kekuasaan absolutis yang membuat para khalifah tidak semata memiliki kekuasan eksekutif tapi juga legislatif dalam pelaksanaan Syari‘ah. Sementara di sisi lainnya, para ulama berupaya sekuat tenaga untuk menafikan legitimasi religius para khalifah tersebut. Perebutan legitimasi ini memuncak dalam konflik antara Ahmad ibn Hanbal dan al-Ma’mun, khalifah absolutis terakhir Dinasti ‘Abbasiyah. Al-Ma’mun, khalifah yang terkenal sebagai patron penerjemahan dan pengkajian filsafat dan ilmu Yunani klasik itu, melakukan kebijakan mihnah, sebuah upaya untuk menegakkan supremasi negara dalam menentukan ortodoksi agama dan peran khalifah sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Namun demikian, kebijakannya mendapat pembangkangan kuat dari Ibn Hanbal. Konflik ini mengakibatkan Ibn Hanbal muncul sebagai pahlawan dan legitimasi khalifah hancur.

Ironisnya, proses alienasi khalifah dari masyarakat Muslim ini semakin dipertajam oleh kecenderungan para khalifah ‘Abbasiyah belakangan untuk menggantungkan diri pada elite militer beretnis Turki yang memang memiliki esprit des corps sangat tinggi. Mereka dipilih sebagai prajurit dan pengawal pribadi khalifah karena mereka tidak memiliki keterikatan dan kesetiaan suku (‘ashabiyah) yang dimiliki pasukan militer Arab. Namun akibatnya, hubungan organik yang mestinya hadir dalam hubungan antara khalifah dan rakyatnya menjadi pudar. Puncaknya adalah saat khalifah al-Musta‘sim membangun Samarra sebagai tempat tinggal khalifah dan para pengawal pribadinya yang terpisah beberapa ratus kilometer dari Baghdad, ibukota negara yang dipadati masyarakat urban dengan segala aktifitas ekonomi dan sosialnya. Tidak mengherankan bila khalifah al-Mutawakkil dapat dengan mudah dibunuh oleh pengawal militernya sendiri tanpa bisa melawan dan tak mendapat sokongan dari masyarakat Muslim.

Militerisasi Negara dan Profesionalisasi Ulama


Takluknya Baghdad pada konfederasi Buwaihi pada tahun 945 menandai dimulainya periode baru dalam sejarah hubungan antara agama dan negara dalam Islam. Dua ciri utamanya adalah militerisasi negara dan munculnya masyarakat kosmopolit yang berorientasi non-negara (non-state oriented ). Khalifah terbukti impoten dan praktis hanya menjadi pemimpin boneka sementara kekuasaan efektif berada di tangan para pemimpin konfederasi ini yang menyebut diri mereka sultan. Pada akhirnya terdapat siklus tetap di mana suku-suku nomad yang berasal dari wilayah pinggiran: Turki, Berber, Mongol atau Kurdi menguasai negara untuk mewujudkan stabilitas politik namun mereka sendiri tidak memiliki cukup legitimasi untuk memerintah masyarakat yang secara etnis, linguistik atau posisi religius berbeda dengan mereka. Negara-negara baru ini pun secara tak terhindarkan telah memetak dar al-Islam yang dulunya berada dalam kekuasan negara imperial yang tunggal. Dalam beberapa kasus, seperti muluk al-thawa’if (reyes de taifas) di Spanyol pasca keruntuhan Dinasti Umayyah di sana atau tiga dinasti pengganti Negara al-Muwahhidun di Afrika Utara: Banu Marin, Banu ‘Abd al-Wad dan Banu Hafsh, legitimasi dan kekuatan politik negara-negara memang sangat singkat dan sempit.

Para ulama bereaksi terhadap perkembangan ini dengan menciptakan jaringan pendidikan dan komunikasi yang bersifat kosmopolit dan berorientasi non-negara. Pada abad XI dan XX Masehi mulai bermunculan institusi-institusi pendidikan yang disebut madrasah, zawiyah dan khanqah. Yang disebut pertama adalah tempat pengajaran materi fikih (dan teologi) sementara dua yang disebut terakhir adalah tempat para sufi dan murid-murid mereka memupuk pengalaman spiritualit mereka. Di dalam lembaga-lembaga ini, para ulama tinggal dan menyebarkan ajaran-ajaran agama dalam atmosfer yang kosmopolit dan lumayan homogen. Standardisasi “sistem keulamaan internasional ini” (Gilbert, 1980: 107-109) dipertahankan lewat beberapa mekanisme. Yang pertama adalah dengan menjadikan agama, bukan negara, sebagai basis sistem keulamaan. Para ulama dan murid-murid mereka mengelana agar mereka menjadi bagian dari serangkaian mata rantai transmisi ajaran dan tradisi agama yang membentang sejak Nabi Muhammad. Yang kedua, jaringan keulamaan ini ditopang oleh model komunikasi yang bersifat personal, bukan institusional.

Dengan cara seperti ini, para ulama telah membantu menciptakan perasaan identitas dan ketentraman politik Muslim yang sedang dibutuhkan oleh masyarakat. Di saat masyarakat Muslim mengalami disintegrasi secara politik, etnis, atau bahasa, dan kesatuan Dunia Islam sedang terancam, para ulama dan sufi aktif berkiprah dalam sistem keulamaan yang berwatak kosmopolit dan homogen. Bukan saja keutuhan Dunia Islam dapat dipertahankan secara kultural, namun juga ekspansi dan konversi Islam di wilayah-wilayah pinggiran seperti Cina, Indonesia dan Afrika berlangsung ekstensif melalui sistem kesarjanaan dan komunikasi internasional ini.

Para sultan dan amir dengan begitu akan sangat berkepentingan untuk ikut membantu penyebaran lembaga-lembaga pendidikan ini di seluruh wilayah mereka. Sebab hanya dengan cara demikianlah mereka dapat membuktikan dedikasi mereka terhadap Islam kepada masyarakat Muslim dan memperoleh legitimasi politik karenanya. Di antara ketiga institusi ini yang paling menarik bagi para sultan dan amir adalah madrasah. Mereka mencoba membina relasi simbiotik dengan para ulama dengan membangun madrasah-madrasah di kota-kota besar Islam yang akan menjadi pusat penyebaran dan pembelajaran doktrin-doktrin Islam. Nizham al-Mulk, perdana menteri terkenal dari Dinasti Saljuq misalnya, mendirikan madrasah Nizhamiyyah antara lain di Baghdad dan Nishapur yang terkenal sebagai pusat studi fiqh Syafi‘i di Persia.


Dari praktik inilah muncul kemudian dikotomi peran ulama dan dan umara yang dipahami secara komplementer. Dengan cara yang sedikit mengingatkan kita pada negara ideal rekaan Plato dalam Republic, relasi antara “pemilik pedang” (rabb al-saif ) dan “pemilik pena” (rabb al-qalam) ini dijelaskan oleh al-Juwaini sebagai perpaduan antara otoritas militer yang diperlukan untuk menciptakan stabilitas dan otoritas agama untuk melaksanakan Syari‘ah (Hallaq, 1984). Pola ini terus berlanjut hingga di masa modern awal, seperti tercermin dalam sistem otoritas politik Kesultanan Osmani yang dipilah menjadi dua: Sultan sebagai pemimpin duniawi dan Syaikh al-Islam sebagai pemimpin agama.

Baru pada masa inilah kita bisa melihat adanya profesionalisasi ulama sebagai elite sosial dan institusionalisasi profesi keulamaan (Gibert, 1980). Ini berarti bahwa para ulama memiliki tempat khusus yang permanen untuk mengajar, tinggal dan memperoleh pendapatan dari profesinya. Di satu sisi, profesionalisasi ulama ini membuat mereka menjadi bagian dari negara dan merupakan elite politik yang patut diperhitungkan. Namun demikian, di sisi yang lain, posisi mereka sebenarnya masih independen karena pendapatan yang diperoleh para ulama adalah lewat zakat dan wakaf yang memang diserahkan kepada mereka. Ini membuat para ulama masih dapat menjaga independensi dan kemandirian mereka. Independensi para ulama ini semakin diperkokoh lewat karakter agama yang independen dari negara dan keberadaan ulama atau sufi yang berada di luar otoritas resmi negara.

Simpulan


Bila ada beberapa catatan yang mesti diberikan dari deskripsi di atas, maka yang pertama mesti disadari adalah bahwa para ulama memang bukan insan apolitis. Sejak awal mereka merupakan elite masyarakat yang aktif berpolitik dan bersentuhan secara intensif dengan negara. Relasi mereka dengan negara pun sangat variatif bergantung pada faktor-faktor politis dan sosial yang turut mempengaruhi perjalanan sejarah mereka. Kalaupun kita akan mencoba melihat pola-pola tertentu dalam relasi ulama dengan politik maka yang segera tampak menonjol adalah bahwa para ulama menghayati diri mereka sebagai pelindung dan penjaga umat. Ragam sikap mereka terhadap negara, mulai dari yang kooperatif hingga yang bermusuhan, dilandasi oleh keprihatinan mereka terhadap kebaikan masyarakat (maslahat al-nas). Para ulama akan bersikap kooperatif (bahkan tampak apolitis) saat negara dapat menjamin kemaslahatan masyarakat; sebaliknya, mereka akan bermusuhan dengan negara bila situasi sebaliknya terjadi.

Ciri lain dari interaksi ulama dan negara di Abad Pertengahan adalah bahwa sikap mereka terhadap negara dilandasi oleh independensi mereka dari segala bentuk ketergantungan terhadap negara: mulai dari agama hingga ekonomi. Dalam bidang agama misalnya, mereka selalu mengusahakan agar agama tidak dikooptasi oleh negara demi kepentingan politik sesaat; di bidang ekonomi, profesi ulama tidak memiliki keterkaitan struktural dengan negara yang mengakibatkan mereka hanya akan menjadi “pendeta istana.” Sebaliknya, pendapatan mereka diperoleh secara langsung dari masyarakat Muslim yang mempercayakan pengurusan zakat dan wakaf kepada mereka.

Pertanyaan kritis yang mesti kita ajukan kepada para ulama dan kiai yang saat ini aktif berpolitik dengan demikian adalah: Apakah motivasi mereka berpolitik adalah demi kebaikan masyarakat atau sebaliknya? Apakah mereka dapat menjamin independensi mereka dari kepentingan politik sesaat? Dapatkah mereka memposisikan diri mereka sebagai representasi masyarakat dan bukan malah menjadi pion kepentingan negara, partai atau individu yang hanya berniat menjadikan para ulama dan agama sebagai mesin politik? Tentu saja jawabannya berpulang pada pribadi masing-masing ulama ini!

Kepustakaan

Gilbert, Joan E. 1980. “Institutionalization of Muslim Scholarship and Professionalization of the Ulamâ in Medieval Damascus,” Studia Islamica, LII, hlm. 105-134.
Glick, Thomas F. 1979. Islamic and Christian Spain in the Early Middle Ages: Comparative Perspective on Social and Cultural Formation. Princeton, N.J.: Princeton University Press. Vide http://libro.uca.edu/ics/emspain.htm
Hallaq, Wael B. 1984. “Caliphs, Jurists and the Saljuqs in the Political Thought of Juwayni,” The Muslim World, LXXIV, hlm. 26-41.
Lapidus, Ira M. 1975. “The Separation of State and Religion in the Development of Early Islamic Society,” International Journal of Middle East Studies, VI, hlm. 363-385.
Rumi, Jalal al-Din. 1996. Discourses of Rumi, diterjemahkan oleh Arthur J. Arberry. Selangor: Thinker’s Library.

Jumat, 25 Februari 2011

Seksualitas dan Spiritualitas


Seksualitas dan Spiritualitas dalam Pemikiran al-Ghazali

Tradisi Islam memberikan evaluasi positif terhadap seksualitas. Keterbukaan dalam membicarakan tema yang sekarang malah ditabukan ini dapat dilihat dalam literatur Islam klasik. Para ulama dan sufi tidak merasakan adanya pertentangan yang inheren antara seksualitas dan spiritualitas. Orang dapat menyaksikan hal ini dalam karya Ibn al-‘Arabi, Tarjuman al-Asywaq, yang mendeskripsikan cinta ilahi dalam ungkapan-ungkapan “romantis dan sensual”; ‘Abd al-Rahman Jami, sufi Persia yang menulis novel Yusuf dan Zulaikha; hingga deskripsi-deskripsi “erotis” tentang “orgasme tanpa batas” di Surga nanti dalam himpunan hadis-hadis sahih. Tulisan ini bermaksud mengeksplorasi salah satu aspek dari evaluasi positif tradisi Islam terhadap seksualitas ini dengan mendeskripsikan pandangan Abu Hamid al-Ghazali (1058-1111), ahli hukum, teolog dan sufi dari Persia, tentang relasi antara seksualitas dan perkawinan dengan spiritualitas. Teks yang akan dikaji adalah bagian yang relevan dalam magnum opus-nya, Ihya’ ‘Ulum al-Din (1957), yaitu Rub‘ II Kitab II, “Kitab Adab al-Nikah,” dan ringkasan karya ini dalam bahasa Persia, Kimiya-yi Sa‘adat (yang hanya bisa saya akses lewat terjemahan Claud Field yang sudah lumayan ketinggalan, The Alchemy of Happiness [1980]). Pertanyaan yang dibahas oleh al-Ghazali kurang lebih demikian: Haruskah perkawinan (dan seksualitas tentunya) dipandang sebagai pendukung atau penghalang spiritualitas? Manakah yang lebih baik, menikah atau menyendiri untuk beribadah?

I

Al-Ghazali membuka “Kitab Adab al-Nikah” dengan paragraf berikut:

Puji bagi Allah yang keajaiban-keajaiban ciptaan-Nya tidak tunduk pada panah prasangka, sebab hati tidak mungkin merenungkan keindahannya tanpa ketakjuban dan kekaguman; dan yang kelembutan karunia-Nya tanpa henti diberikan kepada seluruh alam. Semuanya datang secara beriringan kepada mereka entah mereka mau menerimanya atau tidak. Salah satu karunia-Nya yang paling indah adalah Dia menciptakan manusia dari air [Qur’an xxi:30], menjadikan mereka berhubungan lewat perkawinan dan kekerabatan, dan membuat manusia diliputi hasrat yang dengannya Dia membuat mereka beranak-pinak dan dengan begitu mendorong mereka mempertahankan keturunan. Kemudian Dia mengagungkan dan memberikan kedudukan yang penting terhadap perkara nasab. Karenanya Dia melarang hubungan yang tak sah dan mencelanya sedemikian rupa lewat larangan dan pembatasan, menjadikannya sebagai kejahatan dan masalah yang serius, dan menganjurkan perkawinan lewat perintah dan hasrat.

Lewat paragraf pembuka ini, dengan secara terbuka memperlihatkan keterpesonaannya terhadap seksualitas dan perkawinan, dengan mengatakan bahwa seksualitas merupakan salah satu karunia Tuhan yang paling indah dan bahwa hasrat seksual manusia merupakan “perintah Tuhan,” al-Ghazali sedang memperlihatkan pendekatan dan pendapatnya yang akan ia kemukakan di bawah. Al-Ghazali pastilah sedang mengingat surah xxx: 21 yang menyatakan, “Dan di antara tanda-tanda-Nya (ayatih) adalah bahwa Dia menciptakan pasangan kalian dari diri kalian sendiri dan menghadirkan cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah) di antara kalian.” Dengan kata lain, fenomena seksualitas dan perkawinan merupakan salah satu tanda atau bukti adanya Tuhan dan dengan demikian merupakan salah satu lokus “penampakan wajah Tuhan” dalam kosmos. Al-Ghazali pastilah dengan serta merta akan sepakat dengan penjelasan para sufi yang lain bahwa eksistensi kosmos merupakan hasil “perkawinan” antara langit dan bumi atau juga perpaduan harmonis sifat-sifat agung (jalal) dan indah (jamal) Tuhan. Surah xxxvi: 36 mengatakan, “Mahasuci Dia yang menciptakan pasangan-pasangan dari yang ditumbuhkan oleh bumi, dari diri mereka sendiri dan dari apapun yang tak mereka ketahui.”

Bila secara teologis perkawinan merupakan bagian dari ciri normal segala eksistensi, mengapa kemudian seksualitas harus dipandang negatif? Dari sinilah kemudian fiqh memandang perkawinan sebagai salah satu bagian kehidupan agama yang terpenting. Para fuqaha hanya berselisih saat berhadapan dengan pertanyaan di muka: Mana yang lebih penting, menikah atau menyendiri untuk beribadah? “Para ulama,” demikian kata al-Ghazali, “berbeda pendapat tentang keutamaan nikah. Beberapa di antara mereka menekankan keutamaan nikah hingga mereka lebih mengutamakannya ketimbang menyendiri untuk beribadah kepada Allah (al-takhalli li-‘ibadat Allah); sementara yang lain, walaupun juga menganggap penting nikah masih mengutamakan menyendiri untuk beribadah” (1957: II, 22).

Al-Ghazali memutuskan ikut ambil bagian dalam perselisihan ini. Seperti halnya setiap faqih yang sedang berhadapan dengan problem atau pertanyaan hukum, ia pertama kali mencoba menghimpun teks-teks Qur’an dan hadis-hadis dari Nabi dan para leluhur agung (al-salaf al-salih), dan kemudian menganalisis “manfaat” dan “mudarat” perkawinan untuk kemudian memberikan opininya sendiri.

II

Adakah teks-teks Qur’an dan hadis memberikan apresiasi yang positif terhadap seksualitas dan perkawinan? Sehubungan dengan ayat-ayat Qur’an, al-Ghazali memilah antara ayat-ayat performatif (insya’i) dan deklaratif (khabari). Ia memperlihatkan bahwa setiap ayat performatif Qur’an pasti memerintahkan perkawinan dan sebaliknya melarang apapun yang menghalangi perkawinan. Misalnya surah xxiv: 32 mengatakan, “Kawinilah perempuan-perempuan yang baik di antara kalian.” Sebaliknya surah ii: 232 mengatakan, “Dan jangan halangi mereka menikah dengan pasangan-pasangan mereka.” Adapun ayat-ayat deklaratif Qur’an malah kerap melukiskan pernikahan sebagai salah satu ciri figur-figur utama Qur’an. Surah xiii: 38 bercerita, “Kami telah menurunkan para rasul sebelum Engkau dan mereka pun memiliki pasangan dan anak-anak.” Orang-orang yang dekat kepada Tuhan (auliya’) pun dipuji karena berdoa demikian, “Wahai Tuhanku, berikan kepada kami pasangan dan keturunan yang akan menjadi pelipur hati.”

Hanya dalam hadis al-Ghazali menjumpai adanya sikap mengecilkan atau melarang perkawinan. Misalnya al-Ghazali mengutip hadis yang menyatakan, “Orang yang terbaik setelah dua ratus tahun adalah lelaki yang tidak memiliki istri maupun anak.” Nabi juga diceritakan mengatakan, “Akan datang masa di mana kebinasaan seseorang diakibatkan oleh istrinya, orang tuanya, dan anak-anaknya; mereka akan mengeluhkan kemiskinan mereka dan menuntutnya melakukan sesuatu yang di luar kemampuannya. Ia lalu akan memasuki jalan yang membuatnya kehilangan agamanya dan akan celaka.” (II, 24) Namun, hadis yang sebaliknya malah jauh lebih banyak lagi. Nabi antara lain berkata, “Nikah itu sunnahku. Maka siapapun yang mencintai fitrahku hendaknya mengikuti sunnahku.” Dalam kesempatan yang lain, Nabi berkata, “Menikahlah agar kalian beranak-pinak. Sebab aku akan membanggakan kalian nanti di Hari Kiamat.” (II, 22)

Bagaimana caranya menghadapi dua pernyataan yang bertentangan di atas, di satu sisi, ada hadis yang menganjurkan nikah; sementara di sisi yang lain terdapat hadis yang berpendapat sebaliknya? Al-Ghazali memutuskan untuk melakukan analisis semantik. Ia memperlihatkan bahwa setiap pernyataan yang memandang positif nikah dan menganjurkannya, kalau tidak bersifat mutlak pasti memiliki konteks terbatas. Sebaliknya, setiap pernyataan hadis yang memandang negatif nikah memiliki konteks yang terbatas. “Ringkasnya,” kata al-Ghazali sendiri, “Setiap pernyataan yang melarang nikah diiringi oleh syarat tertentu (maqrunan bi-syarth); sementara yang menganjurkan nikah pastilah bersifat mutlak atau diiringi oleh syarat tertentu.” (II, 25) Dengan kata lain, teks-teks Qur’an dan hadis terbukti mendorong setiap Muslim untuk menikah, kecuali mereka yang karena sesuatu dan lain hal tidak mampu melaksanakannya.

III

Manfaat dan bahaya apa yang akan diperoleh seseorang bila menikah dan menikmati hubungan seksual? Menurut al-Ghazali, ada lima manfaat yang akan diperoleh seseorang bila menikah; dan akan ada tiga bahaya yang akan ditimbulkan oleh nikah. Kutipan dari Kimiya-yi Sa‘adat berikut menjelaskan posisi al-Ghazali tentang manfaat perkawinan secara ringkas (Di sini, al-Ghazali membayangkan para pembacanya adalah kaum lelaki, bukan perempuan!):

Karena Allah, seperti yang dikatakan oleh Qur’an, menciptakan manusia dan jin hanya agar mereka menyembah-Nya, maka manfaat pertama dan utama nikah adalah agar para hamba Allah bertambah banyak jumlahnya … Manfaat lain nikah adalah bahwa, seperti yang dikatakan Nabi, doa anak-anak yang saleh akan menyelamatkan orang tua mereka di Hari Kiamat … Manfaat perkawinan yang lain adalah bahwa hati lelaki akan memperoleh ketenangan lewat keintimannya (uns) dengan wanita, karena duduk dan bergurau dengan mereka. Ketenangan ini menjadi penyebab bertambahnya hasrat untuk beribadah … Manfaat nikah selanjutnya adalah bahwa ada orang yang akan mengurus rumah tangga, memasak makanan, mencuci pakaian, dan mengepel lantai. Bila seorang lelaki sibuk dengan tugas-tugas tersebut ia tak akan sempat belajar, menjalankan bisnis atau beribadah secara khusyuk … Nikah lebih-lebih, punya manfaat lain: Mencoba sabar dengan karakter-karakter feminin, memenuhi kebutuhan-kebutuhan istri dan menjaga mereka agar tetap di jalan agama, merupakan kewajiban agama yang sangat penting. (1980: 101-104)

Kemudian al-Ghazali beralih pada bahaya perkawinan:

Salah satunya adalah bahwa ada bahaya, khususnya di masa sekarang ini, seorang lelaki akan mencari nafkah dengan cara-cara yang tak halal untuk menghidupi keluarganya, dan tak ada perbuatan sebaik apapun yang bisa menebus dosa ini … Bahaya nikah yang lain adalah bahwa memperhatikan keluarga dengan baik dan sabar dan memenuhi kebutuhan mereka secara memuaskan hanya bisa dilakukan oleh mereka yang punya karakter baik. Ada bahaya bahwa seorang lelaki akan memperlakukan keluarganya dengan kasar atau meninggalkan mereka begitu saja dan oleh karena itu mendatangkan dosa pada dirinya sendiri … Bahaya nikah yang ketiga adalah bahwa perhatian terhadap keluarga sering menghalangi lelaki dari berkonsentrasi merenungkan Allah dan akhirat sehingga, kecuali bila ia berhati-hati, membawanya menuju celaka. (1980: 105-107)

Dari analisis al-Ghazali di atas, dapat dilihat bahwa baginya, secara substansial pernikahan memiliki peran vital terhadap agama dan kepribadian individu dan masyarakat. Pernikahan dan seksualitas berbanding lurus dengan spiritualitas. Bahkan manfaat perkawinan yang semata bersifat rekreatif, yaitu keintiman (uns) dengan wanita akan berakibat positif terhadap spiritualitas. (“hati lelaki akan memperoleh ketenangan lewat keintimannya [uns] dengan wanita…”) Sebaliknya, bahaya-bahaya perkawinan ditimbulkan oleh ketidakmampuan seseorang untuk melaksanakan tugasnya dalam perkawinan, bukan karena perkawinan itu sendiri. Ketiga bahaya yang disebutkan oleh al-Ghazali tadi timbul karena ketidakmampuan ini.

IV

Sekarang kita kembali ke pertanyaan di muka: Taruhlah seseorang sudah terbebas dari bahaya-bahaya di atas, mana yang lebih baik, menikah atau menyendiri untuk beribadah? Jawaban al-Ghazali adalah: “Kedua-duanya!” (yajma‘u bainahuma) Sebab, demikian katanya, nikah tidaklah menegasikan ibadah sehubungan dengan keberadaannya sebagai akad dan hanya sehubungan dengan usaha mencari nafkah, nikah itu bisa mengganggu. Maka seseorang yang mampu mencari nafkah yang halal lebih utama menikah karena malam hari dan waktu-waktu luangnya di siang hari masih bisa ia manfaatkan untuk menyendiri beribadah. Dan memang tak seorang pun mungkin menghabiskan seluruh waktunya untuk beribadah. Dan bahkan bila ia harus menghabiskan seluruh waktunya untuk mencari nafkah dan ia hanya memiliki waktu untuk ibadah wajib dan keperluan-keperluan lain yang mendesak (dan tak lagi sempat beribadah sunnah), ia tetap lebih baik menikah karena mencari nafkah yang halal, memperhatikan keluarga, dan merawat anak-anak pun merupakan ibadah yang tak kurang keutamaannya ketimbang ibadah-ibadah sunnah. Baru bila pencarian nafkah menimbulkan bahaya pada seseorang dan ia hanya bisa beribadah dengan perenungan, pengetahuan dan refleksi batin, nikah bisa ditinggalkan. (II, 36)

Lalu bila nikah memang lebih utama, mengapa Nabi ‘Isa memilih tidak menikah; sementara bila menyendiri untuk beribadah lebih baik, mengapa Nabi Muhammad memilih beristri banyak? Sekali lagi, jawabannya adalah bahwa seksualitas tidak bisa dipertentangkan dengan spiritualitas. Maka siapapun yang mampu untuk menikah tanpa membuatnya lupa dari ibadah patut melaksanakan keduanya secara bersamaan. Demikianlah, Nabi Muhammad menikah dan beribadah secara bersamaan tanpa ia sendiri merasa terganggu. Karena kebesaran jiwanya, Nabi sama sekali tak pernah diganggu oleh urusan-urusan duniawi ketika hatinya harus berjumpa dengan Tuhan. Tidak mengherankan bila Nabi menerima wahyu justru saat ia sedang berbaring di kamar istrinya! Sebaliknya, apa yang dilaksanakan oleh Nabi ‘Isa juga cocok bagi dirinya yang memilih untuk berhati-hati. Dan barangkali pula baginya, kesibukan dengan masalah-masalah nikah akan mengganggunya dari beribadah kepada Allah dan ia memilih untuk menghindarinya. Walhasil, menurut al-Ghazali, semuanya berpulang pada kepribadian masing-masing individu. (II, 36-37)

* * * * *

Yang menarik dari pembahasan al-Ghazali di atas tentu saja adalah jawaban yang ia berikan bahwa tidak perlu ada pertentangan antara spiritualitas dan seksualitas. Alih-alih memandang seksualitas dan perkawinan sebagai fenomena fisik belaka yang bertentangan dengan spiritualitas dan akan menjadi penghalang manusia dari jalan agama, al-Ghazali malah mengatakan sebaliknya: Seksualitas dan spiritualitas merupakan dua aspek dari kehidupan manusia yang sama-sama penting dalam usaha manusia untuk mencapai Tujuan Tertingginya. Yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa pendekatan al-Ghazali ini tidaklah unik dan sebenarnya dapat dipandang sebagai representasi pendekatan tradisional Islam dalam berhadapan dengan problem seksualitas. Dengan mendobrak mitos agama-agama lama yang mempertentangkan spiritualitas dan seksualitas, tradisi Islam telah melakukan revolusi budaya yang penting dan menciptakan budaya dan masyarakat yang unik dan khas.

Wa Allahu a‘lam.

Kamis, 17 Februari 2011

Hilangnya Epistemologi

Hilangnya Epistemologi dari Wacana Fiqh Kontemporer

M. Ma’mun Jauhari


I.

Saya merasa ada sesuatu yang hilang dari tradisi intelektual klasik kala saya berhadapan dengan wacana Islam kontemporer, yaitu sikap rendah hati.

Saat berkenalan dengan disiplin-disiplin Islam klasik seperti tafsir, hadis, fiqh, usul fiqh, atau kalam, saya selalu berjumpa dengan penegasan yang tak pernah lelah diulang-ulang bahwa betapapun gagasan-gagasan yang dihasilkan oleh para pemikir klasik tersebut didasarkan pada teks-teks otoritatif Islam yang kebenarannya mutlak diterima oleh setiap Muslim, yaitu Qur’an dan hadis, selalu ada kesadaran bahwa gagasan mereka hanyalah hasil kerja membaca dan menafsirkan yang akan selalu bersifat subjektif, dengan tingkat kebenaran yang relatif dan oleh karena itu tidak boleh diidentikkan dengan teks-teks otoritatif itu sendiri.

Saya ingin membicarakan satu tradisi intelektual yang saya kenal dengan baik, yaitu fiqh, untuk membuktikan hal ini. Sikap rendah hati sudah tercermin bahkan dalam nama yang dipilih untuk menunjuk disiplin ilmu ini. Fiqh berasal dari akar kata f-q-h yang bermakna memahami atau menafsirkan. Secara tersirat tampaknya para pembangun disiplin ini hendak menegaskan bahwa apa yang mereka bicarakan dan diskusikan dalam kitab kuning yang mereka tulis hanyalah merupakan hasil pemahaman dan interpretasi mereka atas teks Qur’an dan hadis dan dengan demikian tidak mungkin memiliki kebenaran absolut seperti yang disandang oleh keduanya. Fiqh dengan begitu akan dipilah dari Syari‘ah, yang merupakan sumber fiqh dan identik dengan wahyu itu sendiri; keduanya tidak bisa dijumbuhkan begitu saja.

Sikap ini menurut saya bermula dari pendirian epistemologis fiqh yang merasa seti daknya ada tiga problem yang mesti dihadapi seseorang saat berhadapan dengan teks-teks otoritatif, yaitu: problem otentisitas, otoritas, dan interpretasi. Setiap tulisan mengenai usul fiqh selalu didahului oleh pengantar tentang epistemologi. Di dalam al-Luma‘ fi Usul al-Fiqh misalnya, Abu Ishaq al-Syirazi berwanti-wanti bahwa pengetahuan manusia (‘ilm al-khalq) berbeda dari pengetahuan Tuhan (‘ilm al-Khaliq) dalam kesempurnaan dan kebenarannya. Sementara pengetahuan yang disebut terakhir benar-benar tanpa cacat dan tidak bisa diklasifikasi berdasarkan tingkat kebenarannya; hal yang sebaliknya justru berlaku dalam pengetahuan manusia. Pengetahuan manusia adakalanya benar karena diperoleh lewat pencerapan langsung (daruri) oleh panca indera atau muncul secara a priori dalam diri manusia, tapi sering juga hanya mencapai tingkat probabilitas, karena cuma diperoleh (muktasab) lewat inferensi atau penalaran. Lebih jauh lagi, manusia malah lebih sering hanya mencapai praduga atau hipotesis (zann), bukan pengetahuan dalam upayanya menemukan kebenaran. Kebenaran (al-Haqq) merupakan objek yang elusif karena keagungan dan kesempurnaannya. Ia merupakan sifat Tuhan itu sendiri. Bahasa Arab biasanya menganalogikan pengetahuan dengan lautan dan ketidakmampuan manusia untuk meneguk air lautan dibandingkan dengan kelemahan manusia untuk menangkap kebenaran. Dari sini kemudian usul fiqh melakukan pemilahan antara pengetahuan yang mencapai derajat kepastian (qat‘i), dan pengetahuan yang hanya mencapai tingkat probabilitas (zann). Pemilahan inilah yang kemudian menjadi perspektif dalam menilai dan membandingkan teori-teori yang beragam dalam fiqh.

Syari‘ah, petunjuk Tuhan kepada manusia, yang diturunkan kepada Muhammad dalam bentuk teks Qur’an dan hadis, merupakan Kebenaran yang Tuhan perlihatkan kepada manusia. Tapi mampukah manusia meneguknya? Dari sinilah muncul ketiga problem epistemologis yang saya sebutkan di atas. Semuanya muncul karena petunjuk Tuhan tersebut datang kepada manusia dalam bentuk teks, yang dengan demikian hanya merupakan penanda (dilalah) belaka atas hukum sempurna milik Tuhan. Diperlukan perantara agar dalil ini bisa “berbicara” kepada manusia, sementara mereka yang ditunjuk sebagai perantara, para fukaha, merupakan individu-individu yang bebas tapi tak lebih sempurna ketimbang manusia-manusia lainnya.

Problem otentisitas bertolak dari kesadaran bahwa teks agama merupakan teks historis yang ditransmisikan dalam jangka waktu lama sehingga memiliki kemungkinan dipalsukan atau diselewengkan akibat faktor waktu. Akibatnya kemudian, harus dikembangkan metode yang efektif untuk menentukan otentisitas suatu nas. Fungsi inilah yang dijalankan oleh ilmu kritik sejarah, disiplin yang bertugas meneliti otentisitas nas lewat kritik transmisi dan konteks. Usul fiqh lalu mengklasifikasi nas berdasarkan tingkat otentisitasnya: Nas yang ditransmisikan oleh individu-individu yang berjumlah banyak merupakan nas yang memiliki tingkat kebenaran yang kuat (maqtu‘ fir-riwayah); sementara nas yang ditransmisikan oleh individu yang sedikit tidak memiliki tingkat otentisitas yang bisa diandalkan (maznun fir-riwayah). Di sini, nas yang disampaikan oleh individu-individu berjumlah banyak (mutawatir) mengandung tingkat kebenaran yang sebanding dengan pengetahuan yang diperoleh dengan indera.

Problem yang kedua, soal otoritas, merupakan kelanjutan dari problem yang pertama. Bila otentisitas teks-teks Islam tidaklah sempurna, bagaimana dengan otoritasnya? Solusi yang diberikan oleh para fukaha klasik adalah dengan melakukan pemilahan kekuatan otoritas nas berdasarkan tingkat otentisitas masing-masing nas. Nas yang memiliki tingkat otentisitas yang kuat akan memiliki otoritas yang besar pula; sementara nas yang tingkat kebenarannya tak dapat diandalkan memiliki tingkat otoritas yang lemah.

Tentu saja solusi ini masih belum menyelesaikan masalah karena teks yang otentik pun bukan merupakan nas yang bisa berbicara sendiri kepada manusia. Dibutuhkan perantara yang bertugas membaca dan menafsirkan nas tersebut agar maknanya diketahui oleh mereka yang memerlukan. Dan tidakkah penafsiran terhadap nas amat bergantung pada mereka yang menafsirkannya? Inilah problem interpretasi. Setiap nas sangat bisa menerima penafsiran dalam pelbagai bentuk (poly-interpretative). Ini tidak mungkin dicegah. Para fukaha hanya bisa menetapkan rambu-rambu, hingga sejauh mana suatu penafsiran dapat ditoleransi, dengan menetapkan kaidah-kaidah linguistik yang canggih. Penafsiran yang memiliki landasan epistemologis kuat (qat‘i ad-dilalah) akan bersifat otoritatif, tidak demikian hanya yang lemah landasan epistemologisnya (zanni ad-dilalah).

Karena fiqh bermula dari usaha menafsirkan nas yang bersifat personal dan individual, maka fiqh dengan demikian tak lebih dari sekadar hasil perjuangan personal, yang dalam bahasa Arab disebut ijtihad, untuk menemukan hukum Tuhan. Tidak mengherankan bila hasil ijtihad itu lalu tidak pernah dinisbatkan kepada atau malah diidentikkan dengan agama itu sendiri. Semuanya hanya merupakan opini dan pendirian pribadi (mazhab) yang sama-sama relatif dalam kaitannya dengan kebenaran. Mazhab-mazhab fiqh yang kita kenal, seperti Maliki, Hanafi, Syafi‘i, dan Hanbali dinisbatkan kepada nama para pendirinya yaitu Malik ibn Anas, Abu Hanifah, Muhammad ibn Idris al-Syafi‘i, dan Ahmad ibn Hanbal. Masing-masing mazhab ini harus menerima prinsip koeksistensi bersama mazhab-mazhab lainnya. Sebab kebenaran masing-masing opini sama-sama relatifnya. Sebuah kaidah fiqh meringkaskan prinsip ini dalam ungkapan: Hasil ijtihad tidak mungkin mengalahkan hasil ijtihad yang lain.

Akibatnya adalah, kecenderungan untuk memutlakkan kebenaran suatu opini akan diminimalisasikan hingga tingkat terendah. Pertama, fiqh selalu diupayakan sebagai wacana yang mandiri tanpa kaitan institusional apapun dengan negara. Dengan demikian, kecenderungan negara untuk memaksakan pemaknaan tunggal terhadap nas bisa dihindari dan kesempurnaan dan keabadian nas bisa dipertahankan dari polusi kepentingan duniawi. Kedua, setiap perselisihan internal dalam fiqh diselesaikan lewat metode konsensual, yaitu dengan perdebatan (jadal dan munazarah), hingga diperoleh konsensus (ijma‘ ). Bila ijma‘ gagal terjadi, maka ikhtilaf atau perselisihan para ulama mesti diterima. Ijma‘, bukan negara, dengan demikian dipandang sebagai otoritas tertinggi dalam hierarki sumber fiqh setelah Qur’an dan hadis. Otoritas ijma‘ dipandang absolut (maqtu‘ ) karena dilihat dari tingkat kebenarannya, ijma‘ sebanding dengan pengetahuan hasil cerapan panca indera dan informasi sejarah yang ditransmisikan oleh individu-individu yang tak terhitung jumlahnya. Di sini pun posisi ijma‘ bukannya tanpa masalah. Selalu ada perdebatan mengenai apa yang dimaksud dengan ijma‘, syarat-syaratnya, hingga status mereka yang melanggar ijma‘. Justru karena itulah kecenderungan menggunakan ijma‘ sebagai sarana hegemonik hampir tidak mungkin dilakukan.

II. 

Justru kesadaran seperti inilah yang hampir tidak bisa ditemukan dalam wacana fiqh kontemporer. Fiqh dan Syari‘ah dijumbukan begitu saja, bahkan muncul istilah baru yang semakin memperkabur makna fiqh: “hukum Islam.” Fatwa dan ijtihad ulama, yang mestinya dinilai sebagai opini pribadi yang kebenarannya relatif, dinilai mewakili “sikap Islam.” Tak jarang saya bertemu dengan tulisan yang berjudul “Pandangan Islam tentang Anu,” “Tinjauan Hukum Islam tentang Anu,” dan lain-lain. Saya tidak mengerti, yang memberikan pandangan atau tinjauan itu siapa, sang penulis, Islam atau Tuhan? Tidak ada penjelasan rinci dari sang pengarang. Seorang penulis berpendapat bahwa ijtihad dalam pengertian klasik yang personal dan individual tidak mungkin dilakukan lagi sekarang dan menyarankan dilakukannya “ijtihad kolektif.” Bagaimana caranya suatu usaha intelektual yang mestinya bersifat individual dilakukan secara kolektif, tidak pernah ia jelaskan. Ketika terjadi perdebatan kemarin mengenai fatwa MUI tentang bunga bank (arah perdebatan pun menurut saya keliru karena fatwa itu dipandang sebagai sikap “ortodoksi” Islam, seolah secara kelembagaan dan fungsinya, MUI itu sejajar dengan gereja dalam agama Kristen) seorang anggota MUI dengan enteng menjawab bahwa fatwa itu belum final dan masih merupakan hasil “ijma‘ sementara” komisi tertentu dalam MUI. Di sini, ijma‘ dipahami hanya sebagai sidang komisi atau rapat final MUI, tanpa mempedulikan nilai epistemologis konsep ini dan dampak pemakaian kata ini secara serampangan dalam mengeluarkan fatwa.

Nas-nas Qur’an dan hadis dikutip secara serampangan untuk mendukung suatu opini tanpa mempertimbangkan tingkat otentisitas, otoritas, dan problem interpretasi yang mungkin menyertai pengutipan tersebut. Ungkapan sami‘na wa ata‘na misalnya, dipakai untuk membenarkan sikap otoriter dan taklid buta tanpa memperhatikan konteks dan batas-batas pemaknaan ayat tersebut. Dalam diskusi yang menyusul sehubungan dengan larangan yang dikeluarkan pemerintah Prancis terhadap jilbab (bersama dengan apa yang dipandang sebagai simbol-simbol agama oleh pemerintah Prancis), saya juga menangkap tanggapan yang hendak mengangkat jilbab sebagai simbol ideologis, bahkan doktrinal, Islam. Andree Feillard bercerita bahwa dalam suatu kesempatan di Bandung, seorang dosen perempuan diminta tidak menyampaikan ceramah di depan peserta pria. Saat ia bersikukuh untuk tetap tampil di depan, mik yang ia pegang malah dicabut. Alasannya adalah suara wanita adalah aurat yang wajib ditutupi dari mereka yang bukan mahram. Sebuah argumentasi yang keterlaluan dan salah alamat. Di sini pun, opini pribadi ulama diangkat sebagai sesuatu yang sakral dan dilaksanakan dengan mengabaikan kondisi dan kepentingan, hal dan maslahah.

Bukankah sering kita mendengar bahwa opini pribadi seorang kiai yang menilai partai A itu bagus dan sebaiknya dicoblos dalam pemilu nanti sering disampaikan secara kategoris dan “diwajibkan” kepada para santrinya? Tidakkah opini sang kiai hanyalah hasil ijtihad yang kebenarannya juga masih relatif, sama relatifnya dengan pendapat santrinya yang mungkin berpendapat justru partai B yang lebih baik? Bukankah hasil ijtihad tidak bisa menghapus, apalagi dipaksakan atas, hasil ijtihad lainnya? Di sini, ruang untuk berselisih pendapat, ikhtilaf, telah dipersempit, dan relasi antara guru dan murid berubah menjadi hubungan otoritarian, bukannya dialogis. Penghormatan terhadap guru telah direduksi maknanya menjadi kepatuhan tanpa reserve oleh murid terhadap apapun yang disampaikan oleh sang guru.

Betapa pula sering saya dengar jargon Ikhwan al-Muslimin yang akhir-akhir ini di Tanah Air juga sering diucapkan atau ditulis dalam pamflet-pamflet: “Islam adalah Solusi,” berikut slogan-slogan lain yang membuat saya semakin bingung: “Qur’an adalah konstitusi,” dan seterusnya. Di sini, kesempurnaan Syari‘ah sebagai wahyu Tuhan begitu saja dirancukan dengan pemahaman manusia terhadapnya. Kemutlakan dan kesempurnaan kebenaran Syari‘ah merupakan satu hal; sementara pemahaman manusia terhadapnya merupakan hal lain. Tapi ini sama sekali tidak diperhatikan oleh mereka yang merasa semuanya akan beres bila Syari‘ah dilaksanakan secara sungguh-sungguh, mereka yang yakin bahwa korupsi akan hilang dan kriminalitas akan minim bila “hukum Islam” diterapkan di Indonesia.

Tuntutan sementara orang agar negara melegalisasikan “penerapan hukum Islam” juga memperlihatkan kerancuan yang akut dalam pemahaman orang mengenai fiqh dan relasinya dengan negara. Kita selalu diingatkan bahwa Islam menuntut penyerahan diri secara total (kaffah) dari seorang individu dan masyarakat yang mengaku Muslim. Maka karakter Islami, demikian argumen mereka, haruslah diterapkan bukan hanya dalam ibadah, tapi juga dalam bidang ekonomi, politik bahkan pengetahuan. Tapi tidakkah terpikirkan misalnya mengenai seberapa jauh “hukum Islam” kompatibel dengan sistem negara-bangsa dan sistem hukumnya? Tidakkah dipikirkan bahwa dalam konsepsi hukum modern, hukum dipandang sebagai salah satu aspek kekuasaan negara (state), sementara dalam konsepsi fiqh hukum merupakan bagian dari masyarakat (society)? Bukankah campur tangan negara dalam soal-soal pemaknaan nas dan perselisihan pendapat malah akan melahirkan efek koruptif?

Bila wacana fiqh kontemporer memiliki tendensi demikian, herankah kita bila sikap mutlak-mutlakan dan hegemonik melanda sebagian orang yang mengaku sebagai pelindung fiqh sehingga fiqh tampak sebagai lembaga keagamaan yang otoriter; sementara Osama bin Laden dan Imam Samudra meyakini kebrutalan yang mereka lakukan merupakan jihad di jalan Tuhan?