Jumat, 25 Februari 2011

Seksualitas dan Spiritualitas


Seksualitas dan Spiritualitas dalam Pemikiran al-Ghazali

Tradisi Islam memberikan evaluasi positif terhadap seksualitas. Keterbukaan dalam membicarakan tema yang sekarang malah ditabukan ini dapat dilihat dalam literatur Islam klasik. Para ulama dan sufi tidak merasakan adanya pertentangan yang inheren antara seksualitas dan spiritualitas. Orang dapat menyaksikan hal ini dalam karya Ibn al-‘Arabi, Tarjuman al-Asywaq, yang mendeskripsikan cinta ilahi dalam ungkapan-ungkapan “romantis dan sensual”; ‘Abd al-Rahman Jami, sufi Persia yang menulis novel Yusuf dan Zulaikha; hingga deskripsi-deskripsi “erotis” tentang “orgasme tanpa batas” di Surga nanti dalam himpunan hadis-hadis sahih. Tulisan ini bermaksud mengeksplorasi salah satu aspek dari evaluasi positif tradisi Islam terhadap seksualitas ini dengan mendeskripsikan pandangan Abu Hamid al-Ghazali (1058-1111), ahli hukum, teolog dan sufi dari Persia, tentang relasi antara seksualitas dan perkawinan dengan spiritualitas. Teks yang akan dikaji adalah bagian yang relevan dalam magnum opus-nya, Ihya’ ‘Ulum al-Din (1957), yaitu Rub‘ II Kitab II, “Kitab Adab al-Nikah,” dan ringkasan karya ini dalam bahasa Persia, Kimiya-yi Sa‘adat (yang hanya bisa saya akses lewat terjemahan Claud Field yang sudah lumayan ketinggalan, The Alchemy of Happiness [1980]). Pertanyaan yang dibahas oleh al-Ghazali kurang lebih demikian: Haruskah perkawinan (dan seksualitas tentunya) dipandang sebagai pendukung atau penghalang spiritualitas? Manakah yang lebih baik, menikah atau menyendiri untuk beribadah?

I

Al-Ghazali membuka “Kitab Adab al-Nikah” dengan paragraf berikut:

Puji bagi Allah yang keajaiban-keajaiban ciptaan-Nya tidak tunduk pada panah prasangka, sebab hati tidak mungkin merenungkan keindahannya tanpa ketakjuban dan kekaguman; dan yang kelembutan karunia-Nya tanpa henti diberikan kepada seluruh alam. Semuanya datang secara beriringan kepada mereka entah mereka mau menerimanya atau tidak. Salah satu karunia-Nya yang paling indah adalah Dia menciptakan manusia dari air [Qur’an xxi:30], menjadikan mereka berhubungan lewat perkawinan dan kekerabatan, dan membuat manusia diliputi hasrat yang dengannya Dia membuat mereka beranak-pinak dan dengan begitu mendorong mereka mempertahankan keturunan. Kemudian Dia mengagungkan dan memberikan kedudukan yang penting terhadap perkara nasab. Karenanya Dia melarang hubungan yang tak sah dan mencelanya sedemikian rupa lewat larangan dan pembatasan, menjadikannya sebagai kejahatan dan masalah yang serius, dan menganjurkan perkawinan lewat perintah dan hasrat.

Lewat paragraf pembuka ini, dengan secara terbuka memperlihatkan keterpesonaannya terhadap seksualitas dan perkawinan, dengan mengatakan bahwa seksualitas merupakan salah satu karunia Tuhan yang paling indah dan bahwa hasrat seksual manusia merupakan “perintah Tuhan,” al-Ghazali sedang memperlihatkan pendekatan dan pendapatnya yang akan ia kemukakan di bawah. Al-Ghazali pastilah sedang mengingat surah xxx: 21 yang menyatakan, “Dan di antara tanda-tanda-Nya (ayatih) adalah bahwa Dia menciptakan pasangan kalian dari diri kalian sendiri dan menghadirkan cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah) di antara kalian.” Dengan kata lain, fenomena seksualitas dan perkawinan merupakan salah satu tanda atau bukti adanya Tuhan dan dengan demikian merupakan salah satu lokus “penampakan wajah Tuhan” dalam kosmos. Al-Ghazali pastilah dengan serta merta akan sepakat dengan penjelasan para sufi yang lain bahwa eksistensi kosmos merupakan hasil “perkawinan” antara langit dan bumi atau juga perpaduan harmonis sifat-sifat agung (jalal) dan indah (jamal) Tuhan. Surah xxxvi: 36 mengatakan, “Mahasuci Dia yang menciptakan pasangan-pasangan dari yang ditumbuhkan oleh bumi, dari diri mereka sendiri dan dari apapun yang tak mereka ketahui.”

Bila secara teologis perkawinan merupakan bagian dari ciri normal segala eksistensi, mengapa kemudian seksualitas harus dipandang negatif? Dari sinilah kemudian fiqh memandang perkawinan sebagai salah satu bagian kehidupan agama yang terpenting. Para fuqaha hanya berselisih saat berhadapan dengan pertanyaan di muka: Mana yang lebih penting, menikah atau menyendiri untuk beribadah? “Para ulama,” demikian kata al-Ghazali, “berbeda pendapat tentang keutamaan nikah. Beberapa di antara mereka menekankan keutamaan nikah hingga mereka lebih mengutamakannya ketimbang menyendiri untuk beribadah kepada Allah (al-takhalli li-‘ibadat Allah); sementara yang lain, walaupun juga menganggap penting nikah masih mengutamakan menyendiri untuk beribadah” (1957: II, 22).

Al-Ghazali memutuskan ikut ambil bagian dalam perselisihan ini. Seperti halnya setiap faqih yang sedang berhadapan dengan problem atau pertanyaan hukum, ia pertama kali mencoba menghimpun teks-teks Qur’an dan hadis-hadis dari Nabi dan para leluhur agung (al-salaf al-salih), dan kemudian menganalisis “manfaat” dan “mudarat” perkawinan untuk kemudian memberikan opininya sendiri.

II

Adakah teks-teks Qur’an dan hadis memberikan apresiasi yang positif terhadap seksualitas dan perkawinan? Sehubungan dengan ayat-ayat Qur’an, al-Ghazali memilah antara ayat-ayat performatif (insya’i) dan deklaratif (khabari). Ia memperlihatkan bahwa setiap ayat performatif Qur’an pasti memerintahkan perkawinan dan sebaliknya melarang apapun yang menghalangi perkawinan. Misalnya surah xxiv: 32 mengatakan, “Kawinilah perempuan-perempuan yang baik di antara kalian.” Sebaliknya surah ii: 232 mengatakan, “Dan jangan halangi mereka menikah dengan pasangan-pasangan mereka.” Adapun ayat-ayat deklaratif Qur’an malah kerap melukiskan pernikahan sebagai salah satu ciri figur-figur utama Qur’an. Surah xiii: 38 bercerita, “Kami telah menurunkan para rasul sebelum Engkau dan mereka pun memiliki pasangan dan anak-anak.” Orang-orang yang dekat kepada Tuhan (auliya’) pun dipuji karena berdoa demikian, “Wahai Tuhanku, berikan kepada kami pasangan dan keturunan yang akan menjadi pelipur hati.”

Hanya dalam hadis al-Ghazali menjumpai adanya sikap mengecilkan atau melarang perkawinan. Misalnya al-Ghazali mengutip hadis yang menyatakan, “Orang yang terbaik setelah dua ratus tahun adalah lelaki yang tidak memiliki istri maupun anak.” Nabi juga diceritakan mengatakan, “Akan datang masa di mana kebinasaan seseorang diakibatkan oleh istrinya, orang tuanya, dan anak-anaknya; mereka akan mengeluhkan kemiskinan mereka dan menuntutnya melakukan sesuatu yang di luar kemampuannya. Ia lalu akan memasuki jalan yang membuatnya kehilangan agamanya dan akan celaka.” (II, 24) Namun, hadis yang sebaliknya malah jauh lebih banyak lagi. Nabi antara lain berkata, “Nikah itu sunnahku. Maka siapapun yang mencintai fitrahku hendaknya mengikuti sunnahku.” Dalam kesempatan yang lain, Nabi berkata, “Menikahlah agar kalian beranak-pinak. Sebab aku akan membanggakan kalian nanti di Hari Kiamat.” (II, 22)

Bagaimana caranya menghadapi dua pernyataan yang bertentangan di atas, di satu sisi, ada hadis yang menganjurkan nikah; sementara di sisi yang lain terdapat hadis yang berpendapat sebaliknya? Al-Ghazali memutuskan untuk melakukan analisis semantik. Ia memperlihatkan bahwa setiap pernyataan yang memandang positif nikah dan menganjurkannya, kalau tidak bersifat mutlak pasti memiliki konteks terbatas. Sebaliknya, setiap pernyataan hadis yang memandang negatif nikah memiliki konteks yang terbatas. “Ringkasnya,” kata al-Ghazali sendiri, “Setiap pernyataan yang melarang nikah diiringi oleh syarat tertentu (maqrunan bi-syarth); sementara yang menganjurkan nikah pastilah bersifat mutlak atau diiringi oleh syarat tertentu.” (II, 25) Dengan kata lain, teks-teks Qur’an dan hadis terbukti mendorong setiap Muslim untuk menikah, kecuali mereka yang karena sesuatu dan lain hal tidak mampu melaksanakannya.

III

Manfaat dan bahaya apa yang akan diperoleh seseorang bila menikah dan menikmati hubungan seksual? Menurut al-Ghazali, ada lima manfaat yang akan diperoleh seseorang bila menikah; dan akan ada tiga bahaya yang akan ditimbulkan oleh nikah. Kutipan dari Kimiya-yi Sa‘adat berikut menjelaskan posisi al-Ghazali tentang manfaat perkawinan secara ringkas (Di sini, al-Ghazali membayangkan para pembacanya adalah kaum lelaki, bukan perempuan!):

Karena Allah, seperti yang dikatakan oleh Qur’an, menciptakan manusia dan jin hanya agar mereka menyembah-Nya, maka manfaat pertama dan utama nikah adalah agar para hamba Allah bertambah banyak jumlahnya … Manfaat lain nikah adalah bahwa, seperti yang dikatakan Nabi, doa anak-anak yang saleh akan menyelamatkan orang tua mereka di Hari Kiamat … Manfaat perkawinan yang lain adalah bahwa hati lelaki akan memperoleh ketenangan lewat keintimannya (uns) dengan wanita, karena duduk dan bergurau dengan mereka. Ketenangan ini menjadi penyebab bertambahnya hasrat untuk beribadah … Manfaat nikah selanjutnya adalah bahwa ada orang yang akan mengurus rumah tangga, memasak makanan, mencuci pakaian, dan mengepel lantai. Bila seorang lelaki sibuk dengan tugas-tugas tersebut ia tak akan sempat belajar, menjalankan bisnis atau beribadah secara khusyuk … Nikah lebih-lebih, punya manfaat lain: Mencoba sabar dengan karakter-karakter feminin, memenuhi kebutuhan-kebutuhan istri dan menjaga mereka agar tetap di jalan agama, merupakan kewajiban agama yang sangat penting. (1980: 101-104)

Kemudian al-Ghazali beralih pada bahaya perkawinan:

Salah satunya adalah bahwa ada bahaya, khususnya di masa sekarang ini, seorang lelaki akan mencari nafkah dengan cara-cara yang tak halal untuk menghidupi keluarganya, dan tak ada perbuatan sebaik apapun yang bisa menebus dosa ini … Bahaya nikah yang lain adalah bahwa memperhatikan keluarga dengan baik dan sabar dan memenuhi kebutuhan mereka secara memuaskan hanya bisa dilakukan oleh mereka yang punya karakter baik. Ada bahaya bahwa seorang lelaki akan memperlakukan keluarganya dengan kasar atau meninggalkan mereka begitu saja dan oleh karena itu mendatangkan dosa pada dirinya sendiri … Bahaya nikah yang ketiga adalah bahwa perhatian terhadap keluarga sering menghalangi lelaki dari berkonsentrasi merenungkan Allah dan akhirat sehingga, kecuali bila ia berhati-hati, membawanya menuju celaka. (1980: 105-107)

Dari analisis al-Ghazali di atas, dapat dilihat bahwa baginya, secara substansial pernikahan memiliki peran vital terhadap agama dan kepribadian individu dan masyarakat. Pernikahan dan seksualitas berbanding lurus dengan spiritualitas. Bahkan manfaat perkawinan yang semata bersifat rekreatif, yaitu keintiman (uns) dengan wanita akan berakibat positif terhadap spiritualitas. (“hati lelaki akan memperoleh ketenangan lewat keintimannya [uns] dengan wanita…”) Sebaliknya, bahaya-bahaya perkawinan ditimbulkan oleh ketidakmampuan seseorang untuk melaksanakan tugasnya dalam perkawinan, bukan karena perkawinan itu sendiri. Ketiga bahaya yang disebutkan oleh al-Ghazali tadi timbul karena ketidakmampuan ini.

IV

Sekarang kita kembali ke pertanyaan di muka: Taruhlah seseorang sudah terbebas dari bahaya-bahaya di atas, mana yang lebih baik, menikah atau menyendiri untuk beribadah? Jawaban al-Ghazali adalah: “Kedua-duanya!” (yajma‘u bainahuma) Sebab, demikian katanya, nikah tidaklah menegasikan ibadah sehubungan dengan keberadaannya sebagai akad dan hanya sehubungan dengan usaha mencari nafkah, nikah itu bisa mengganggu. Maka seseorang yang mampu mencari nafkah yang halal lebih utama menikah karena malam hari dan waktu-waktu luangnya di siang hari masih bisa ia manfaatkan untuk menyendiri beribadah. Dan memang tak seorang pun mungkin menghabiskan seluruh waktunya untuk beribadah. Dan bahkan bila ia harus menghabiskan seluruh waktunya untuk mencari nafkah dan ia hanya memiliki waktu untuk ibadah wajib dan keperluan-keperluan lain yang mendesak (dan tak lagi sempat beribadah sunnah), ia tetap lebih baik menikah karena mencari nafkah yang halal, memperhatikan keluarga, dan merawat anak-anak pun merupakan ibadah yang tak kurang keutamaannya ketimbang ibadah-ibadah sunnah. Baru bila pencarian nafkah menimbulkan bahaya pada seseorang dan ia hanya bisa beribadah dengan perenungan, pengetahuan dan refleksi batin, nikah bisa ditinggalkan. (II, 36)

Lalu bila nikah memang lebih utama, mengapa Nabi ‘Isa memilih tidak menikah; sementara bila menyendiri untuk beribadah lebih baik, mengapa Nabi Muhammad memilih beristri banyak? Sekali lagi, jawabannya adalah bahwa seksualitas tidak bisa dipertentangkan dengan spiritualitas. Maka siapapun yang mampu untuk menikah tanpa membuatnya lupa dari ibadah patut melaksanakan keduanya secara bersamaan. Demikianlah, Nabi Muhammad menikah dan beribadah secara bersamaan tanpa ia sendiri merasa terganggu. Karena kebesaran jiwanya, Nabi sama sekali tak pernah diganggu oleh urusan-urusan duniawi ketika hatinya harus berjumpa dengan Tuhan. Tidak mengherankan bila Nabi menerima wahyu justru saat ia sedang berbaring di kamar istrinya! Sebaliknya, apa yang dilaksanakan oleh Nabi ‘Isa juga cocok bagi dirinya yang memilih untuk berhati-hati. Dan barangkali pula baginya, kesibukan dengan masalah-masalah nikah akan mengganggunya dari beribadah kepada Allah dan ia memilih untuk menghindarinya. Walhasil, menurut al-Ghazali, semuanya berpulang pada kepribadian masing-masing individu. (II, 36-37)

* * * * *

Yang menarik dari pembahasan al-Ghazali di atas tentu saja adalah jawaban yang ia berikan bahwa tidak perlu ada pertentangan antara spiritualitas dan seksualitas. Alih-alih memandang seksualitas dan perkawinan sebagai fenomena fisik belaka yang bertentangan dengan spiritualitas dan akan menjadi penghalang manusia dari jalan agama, al-Ghazali malah mengatakan sebaliknya: Seksualitas dan spiritualitas merupakan dua aspek dari kehidupan manusia yang sama-sama penting dalam usaha manusia untuk mencapai Tujuan Tertingginya. Yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa pendekatan al-Ghazali ini tidaklah unik dan sebenarnya dapat dipandang sebagai representasi pendekatan tradisional Islam dalam berhadapan dengan problem seksualitas. Dengan mendobrak mitos agama-agama lama yang mempertentangkan spiritualitas dan seksualitas, tradisi Islam telah melakukan revolusi budaya yang penting dan menciptakan budaya dan masyarakat yang unik dan khas.

Wa Allahu a‘lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar